
Pemanasan global (global warming) telah menjadi salah satu permasalahan lingkungan terbesar yang dapat mempercepat perubahan pada temperatur dan cuaca bumi. Pemanasan global tidak hanya mempengaruhi daratan dan atmosfer Bumi, namun juga mempengaruhi lautan. hal ini disebabkan karena pemanasan global dapat mempengaruhi garis pantai, permuakaan, keasaman laut, arus, air, suhu permukaan laut, pasang surut, dasar laut, cuaca, dan memicu beberapa perubahan dalam biogeokimia laut. Pengaruh-pengaruh tersebut menyebabkan deoksigenasi laut yang berakibat pada kematian biota laut seperti misalnya bintang laut.
Deoksigenasi laut adalah fenomena berkurangnya kandungan oksigen di lautan akibat berbagai kegiatan manusia yang mendorong produksi gas rumah kaca (greenhouse gas) dan pencemaran air oleh mineral dan nutrisi secara berlebih (Laffoley & Baxter, 2019). Akibat deoksigenasi laut, jumlah daerah hipoksia pesisir dan muara atau zona mati, dan perluasan zona minimum oksigen di lautan meningkat. Penurunan kandungan oksigen di lautan berlangsung cukup cepat dapat menjadi ancaman bagi semua biota laut dengan sifat aerobik, serta bagi masyarakat yang bergantung pada biota laut untuk nutrisi atau mata pencaharian (Oschlies et al., 2018).
Saat ini, deoksigenasi laut telah berdampak pada salah satu biota laut yang mempunyai peran penting bagi keseimbangan ekosistem laut, yaitu bintang laut. Bintang laut di berbagai perairan telah terserang sebuah penyakit misterius yang membuat mereka meleleh. Penyakit misterius ini mengubah bentuk tubuh mereka menjadi seperti lendir atau goo. Berdasarkan penemuan berbagai penelitian, pemanasan global dan deoksigenasi laut menjadi penyebab dari kemunculan penyakit misterius ini. Namun, sebelum membahas bagaimana pemanasan global dan deoksigenasi laut dapat menyebabkan penyakit misterius ini, mari terlebih dahulu mengenal bintang laut lebih dalam.
Deskripsi Bintang Laut

Bintang laut atau sea star adalah echinodermata berbentuk bintang yang termasuk dalam kelas Asteroidea. Ada 2.000 spesies bintang laut di dasar laut semua samudra di dunia dengan habitat yang bermacam-macam. Biasanya, mereka hidup pada zona intertidal atau pesisir, namun ada yang hidup di jurang laut dengan kedalaman 6.000 m. Mereka merupakan hewan yang secara eksklusif hidup laut dan hanya beberapa hidup di air payau.
Rekaman fosil bintang laut kuno tertua berasal dari periode Ordovisium sekitar 450 juta tahun yang lalu (Hunter & Ortega-Hernández, 2017). Namun, fosil bintang laut cenderung akan hancur setelah mati, sehingga sulit untuk menemukan fosil yang dapat bertahan lama. Mereka kadang-kadang dikumpulkan sebagai barang antik, digunakan dalam desain atau sebagai logo, dan digunakan sebagai bahan makanan dalam beberapa budaya. Invertebrata laut ini mempunyai cakram pusat dan lima atau lebih lengan (Starfish, n.d.). Beberapa spesies bahkan mempunyai 10, 20, hingga 40 lengan. Permukaan aboral atau bagian atas dari bintang laut umumnya bertekstur halus atau berbutir (berduri), dan tertutup sebuah pelat yang saling tumpang tindih. Warna dari berbagai spesies bintang laut sangat beragam, mulai dari merah, jingga, biru, hijau, coklat, hingga abu-abu. Spesies laut ini bergerak dengan kaki tabung (tube feet), dan pada bagian tengah terdapat mulut yang juga berperan untuk membantu pergerakan mereka.
Sebagian besar bintang laut merupakan predator bagi invertebrata pada zona bentik. Beberapa spesies mempunyai cara unik untuk memperoleh makanan, seperti kemampuan untuk memindahkan perut dan menyaring makanan. Bintang laut juga terkenal akan kemampuan mereka untuk meregenerasi sebagian hingga seluruh anggota tubuh mereka. Beberapa spesies perlu tubuh pusat utuh untuk beregenerasi, tetapi beberapa spesies lain dapat menumbuhkan bintang laut yang benar-benar baru hanya dari sebagian anggota tubuh mereka yang terputus.
Bintang laut mempunyai beberapa peran ekologis yang penting. Ada yang berperan sebagai spesies kunci dalam ekologi, seperti bintang laut ungu (Pisaster ochraceus) dan bintang laut karang (Stichaster australis). Spesies kunci memangsa hewan yang tidak memiliki predator alami lainnya dan jika mereka dikeluarkan dari lingkungan, mangsanya akan bertambah jumlahnya dan dapat mengusir spesies lain (Silver, 2019). Ada pula spesies predator yang rakus seperti bintang laut mahkota duri tropis (Acanthaster planci) yang hidup di perairan Indo-Pasifik, dan spesies invasif seperti bintang laut Pasifik utara (Asterias amurensis).
Sea Star Wasting Syndrome

Dalam tujuh tahun terakhir, terjadi kematian berbagai spesies bintang laut secara besar-besaran di seluruh dunia akibat sebuah penyakit, yaitu sea star wasting syndrome (Cockburn, 2021). Sea star wasting syndrome bahkan berhasil mengubah status spesies bintang laut bunga matahari atau sunflower sea star (Pycnopodia helianthoides) menjadi terancam punah. Para peneliti menyatakan sea star wasting syndrome sebagai satu-satunya penyakit laut terbesar dan paling luas secara geografis yang pernah tercatat. Selain bintang laut bunga matahari, beberapa spesies lain yang paling terpengaruh oleh penyakit ini adalah bintang laut matahari pagi (Solaster dawsoni), bintang laut merah muda raksasa (Pisaster brevispinus), bintang laut ungu (Pisaster ochraceus), dan bintang laut bintik-bintik (Evasterias troschelii).
Sea star wasting syndrome atau sea star wasting disease adalah sebuah penyakit yang menyerang bintang laut dan beberapa echinodermata lain. Penyakit ini muncul secara sporadis dan menyebabkan kematian secara besar-besaran pada spesies ini atau echinodermata yang terpengaruh. Gejala pertama dari sea star wasting syndrome adalah penolakan untuk menerima makanan (Sea Star Wasting Syndrome, 2021). Selanjutnya, spesies ini akan merasa lesu selama berminggu-minggu dan muncul lesi putih pada permukaan hewan laut berbentuk bintang ini. Lesi putih ini menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dan membuat jaringan di sekitar lesi membusuk. Kemudian, bintang laut akan mengalami kegagalan sistem pembuluh darah air dan tidak dapat menjaga keseimbangan hidrostatik internalnya. Terakhir, bintang laut perlahan-lahan akan mati karena struktur tubuh mereka mulai rusak akibat peregangan di antara lengan yang mungkin terpelintir dan lepas. Ketika penyakit ini sudah benar-benar membunuh bintang laut ini, tubuh mereka tidak akan berbentuk lagi dan tersisa sebagai gumpalan putih yang lembek dan hancur.
Kasus-kasus terkait sea star wasting syndrome telah ada sejak tahun 1972 dan 1978. Namun, pada tahun 2013, penyakit ini telah membunuh sejumlah besar populasi bintang laut dalam laju yang cepat. Sampai saat ini, para peneliti masih belum terlalu memahami penyebab dari sea star wasting syndrome. Sebuah penelitian terbaru pada tahun 2021 oleh Aquino et al. memberikan bukti bahwa sea star wasting syndrome mungkin terkait dengan bakteri yang ada pada jaringan tubuh bintang laut. Bakteri ini dapat mengurangi oksigen pada perairan yang menjadi habitat spesies laut ini, terjadi ketika suhu laut meningkat. Ketika spesies ini kekurangan oksigen, mereka akan lebih rentan terhadap berbagai penyakit karena sistem imun tubuh mereka melemah. Penemuan ini merupakan sebuah bukti bahwa ada kaitan antara sea star wasting syndrome dengan pemanasan global.
Kepadatan populasi manusia dan perkembangan pesisir juga dapat mempengaruhi proses penularan dan imunitas inang dari penyakit ini (Moritsch & Raimond, 2018). Alat tangkap dan puing-puing yang tersangkut pada tubuh bintang laut menyediakan permukaan baru bagi pertumbuhan bakteri, dan cedera dari benda-benda ini menciptakan jalan masuk bagi bakteri untuk menghindari pertahanan eksternal bintang laut. Pembuangan air limbah ke laut juga berpotensi untuk mempengaruhi sea star wasting syndrome dengan memberikan nutrisi bagi patogen laut yang sudah ada dan membuat bakteri penyakit semakin berbahaya bagi hewan laut ini. Walaupun agen penyakit ini tidak terkait secara langsung dengan kegiatan manusia, populasi manusia yang lebih besar menciptakan lebih banyak tekanan bagi ekosistem pesisir melalui berbagai macam polusi dan kontaminan, gangguan, peningkatan kunjungan pantai, dan modifikasi habitat.
Upaya Mencegah Sea Star Wasting Syndrome

Pemanasan global dan kegiatan manusia mungkin bukan penyebab utama dari sea star wasting syndrome, namun kedua faktor ini berperan besar dalam mendorong penyebaran dari bakteri penyebab sea star wasting syndrome. Padahal, bintang laut merupakan spesies kunci yang berperan penting bagi ekosistem laut. Oleh karena itu, manusia perlu melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran penyakit. Upaya-upaya tersebut seperti:
- Melakukan diagnosa dan kegiatan epidemiologi yang fokus pada patogenesis dan etiologi sea star wasting syndrome untuk menemukan penyebab pasti dari penyakit ini . Apabila para peneliti dapat menemukan penyebab pasti dari sea star wasting syndrome, maka mereka dapat membuat antibiotik untuk mengobati bintang laut yang terjangkit penyakit ini. Pada tahun 2014-2015, Kebun Binatang dan Akuarium Point Defiance di Tacoma, Amerika Serikat mengobati bintang laut mereka yang terjangkit sea star wasting syndrome dengan antibiotik yang berasal dari mutasi tunggal pada faktor perpanjangan lokus alfa-1 (Wares & Schiebelhut, 2016). Antibiotik ini berhasil mengobati spesies ini di akuarium mereka, walaupun mekanisme pengobatannya masih belum terlalu dipahami.
- Melakukan pengawasan pada ekologi untuk memantau penyebaran wabah sea star wasting syndrome di masa depan dan untuk melacak pemulihan populasi bintang laut. Pengawasan ini juga dapat membantu manusia mencegah penyebaran sea star wasting syndrome pada bintang laut di perairan yang belum terpengaruh oleh penyakit ini.
- Membangun konservasi dan melaksanakan kegiatan konservasi bagi lebih banyak spesies bintang laut. Melalui konservasi, manusia dapat melaksanakan pemulihan bagi spesies ini yang terjangkit sea star wasting syndrome dan mengetahui spesies lainnya yang beresiko terjangkit penyakit ini. Manusia juga dapat membuat rencana pemulihan secara lebih lanjut untuk menjaga populasi spesies ini yang masih berada pada habitat asli mereka.
- Mengedukasi masyarakat secara lebih lanjut mengenai bintang laut, hewan ini memiliki manfaat bagi keseimbangan ekosistem, dan bagaimana manusia dapat membantu menjaga keberadaan mereka. Edukasi tersebut bisa melalui poster, pembuatan konten di media sosial, dan seminar mengenai sea star wasting syndrome.
- Menerapkan gaya hidup go green untuk mencegah pemanasan global secara lebih lanjut. Penyebab utama dari pemanasan global adalah penumpukan gas rumah kaca pada atmosfer yang mencegah panas berlebih di Bumi untuk keluar. Gas rumah kaca dapat berasal dari karbondioksida, metana, nitrogen oksida, dan berbagai gas lain seperti klorofluorokarbon (CFC) yang muncul dari kendaraan, industri, dan berbagai kegiatan manusia lain. Saat ini, sudah ada banyak alternatif gaya hidup go green yang dapat membantu manusia untuk mencegah pemanasan global seperti menggunakan kendaraan listrik, energi terbarukan, dan mengurangi konsumsi daging merah.
Bacaan Lainnya :Blue-Footed Booby: Burung Laut dengan “Kaus Kaki Biru”
Penulis: Fiona Evangeline Onggodjojo
Dikurasi Oleh: Daning Krisdianti
Referensi Literatur
Aquino, C. A., Besemer, R. M., DeRito, C. M., Kocian, J., Porter, I. R., Raimondi, P. T., Rede, J. E., Schiebelhut, L. M., Sparks, J. P., Wares, J. P., & Hewson, I. (2021). Evidence That Microorganisms at the Animal-Water Interface Drive Sea Star Wasting Disease. Frontiers in Microbiology, 11(1), 3278. https://doi.org/10.3389/fmicb.2020.610009.
Cockburn, H. (2021, January 7). Climate crisis: Warming oceans linked to mass starfish die-offs around the world. The Independent. Retrieved February 12, 2021, 16:00 WIB from https://www.independent.co.uk/climate-change/news/starfish-oceans-climate-change-b1783780.html.
Hunter, A. W., & Ortega-Hernández, J. (2017, November 9). A primitive starfish ancestor from the Early Ordovician of Morocco reveals the origin of crown group Echinodermata. bioRxiv. Retrieved February 12, 2021, 16:00 WIB from https://www.biorxiv.org/content/10.1101/216101v1.full.
Laffoley, D., & Baxter, J. M. (2019). Ocean deoxygenation : everyone’s problem : causes, impacts, consequences and solutions. IUCN. https://doi.org/10.2305/IUCN.CH.2019.13.enhttps://doi.org/10.2305/IUCN.CH.2019.13.en.
Moritsch, M. (2018). Ecological causes and consequences of Sea Star Wasting Syndrome on the Pacific coast. UC Santa Cruz. ProQuest ID: Moritsch_ucsc_0036E_11614. Merritt ID: ark:/13030/m5x39vdx. Retrieved February 13, 2021, 16:00 WIB from https://escholarship.org/uc/item/9dr8t5kq.
Oschlies, A., Brandt, P., Stramma, L., & Schmidtko, S. (2018, June 15). How global warming is causing ocean oxygen levels to fall. Carbon Brief. Retrieved February 12, 2021, 16:00 WIB from https://www.carbonbrief.org/guest-post-how-global-warming-is-causing-ocean-oxygen-levels-to-fall.
Sea Star Wasting Syndrome. (2021, February 8). MARINe: Multi-Agency Rocky Intertidal Network. Retrieved February 12, 2021, 16:00 WIB from https://marine.ucsc.edu/data-products/sea-star-wasting/index.html.
Silver, C. (2019, April 27). Creature Feature: Sea Stars. Blue Ocean Society. Retrieved February 13, 2021, 16:00 WIB from https://www.blueoceansociety.org/blog/creature-feature-sea-stars/#:~:text=Sea%20stars%20are%20important%20members,may%20drive%20out%20other%20species.
Starfish. (n.d.). National Geographic. Retrieved February 12, 2021, 16:00 WIB from https://www.nationalgeographic.com/animals/invertebrates/group/starfish/.
Wares, J. P., & Schiebelhut, L. M. (2016). What doesn’t kill them makes them stronger: an association between elongation factor 1-α overdominance in the sea star Pisaster ochraceus and “sea star wasting disease”. PeerJ, 4(1), 1876. https://doi.org/10.7717/peerj.1876.
Referensi Gambar
Ochre Sea Star. Retrieved from https://aquarium.org/ochre-sea-stars-come-different-colors/.
Sea Star Underwater. Retrieved from https://unsplash.com/photos/n5wwck8ES4w.
Leg of Pisaster ochraceus disintegrating from sea star wasting syndrome. Retrieved from https://www.sciencealert.com/the-horrible-condition-turning-starfish-into-goo-has-finally-been-identified.
Gambar 4. Sunflower sea stars near Croker Island in British Columbia in 2013. Retrieved from https://www.vashonbeachcomber.com/news/a-hope-for-sea-stars-healthy-oceans/.
Lindungihutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya yang dapat merugikan pihak.
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!