Dewasa ini, ekspansi populasi penduduk dan perkembangan industri terjadi sangat pesat.
Hal tersebut berimbas pada konsumsi bahan bakar fosil (batubara, minyak, dan gas alam) yang lebih tinggi selama beberapa dekade terakhir.
Bahan bakar fosil memiliki aksesibilitas, kompatibilitas, dan keterjangkauan yang relatif mudah. Selain itu, bahan bakar ini dipercaya lebih stabil dibandingkan zat lain.
Tak heran jika penggunaannya digemari oleh sebagian besar negara.
Namun, karakter bahan bakar fosil yang tak terbarukan, mengakibatkan pemanfaatannya menjadi sangat terbatas.
Terlebih lagi jumlah gas rumah kaca (seperti CO, CO2, NOx, SOx, dan CH4) yang sangat melimpah dihasilkan dari konsumsi bahan bakar fosil.
Hal ini kemudian menciptakan permasalahan iklim global.
Dalam Perjanjian Paris tertuang bahwa penurunan penggunaan bahan bakar fosil dilakukan untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius.
Untuk mencapai target tersebut, dunia tidak hanya perlu menghentikan ekspansi bahan bakar fosil. Lebih dari itu, semua negara perlu secara aktif menghentikan produksi tambang batu bara serta sumur minyak dan gas (migas).
Dengan demikian, dibutuhkan energi terbarukan yang ramah lingkungan untuk mencapai tujuan tersebut.
Apa itu Biomassa dan Biomassa Tanaman?
Tren penggunaan energi biomassa sudah ada sejak zaman “manusia purba”. Hal tersebut diwujudkan melalui pembuatan kayu api untuk memasak atau menghangatkan badan.
Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari organisme hidup, seperti tumbuhan dan hewan.
Pada dasarnya biomassa dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar, yaitu:
- Biomassa kayu,
- Biomassa bukan kayu, dan
- Bahan-bakar sekunder.
Sementara Biomass Energy Europe (BSE), membagi biomassa ke dalam empat kategori antara lain yakni:
- Biomassa hutan dan limbah hutan,
- Tanaman energi,
- Limbah pertanian, dan
- Limbah organik.
Pada dasarnya, biomassa tanaman adalah satu dari banyak jenis energi terbarukan yang ramah lingkungan, bersih, dan melimpah ketersediaannya.
Bagaimana Biomassa Tanaman Berubah Menjadi Energi?
Tidak seperti sumber-sumber alamiah lain seperti petroleum, batubara, dan bahan bakar nuklir, pemanfaatan biomassa dilakukan dengan basis siklus karbon.
Energi yang terdapat pada biomassa tanaman berasal dari matahari melalui proses fotosintesis.
Dalam prosesnya, tumbuhan menyerap energi matahari kemudian mengubah karbon dioksida dan air menjadi nutrisi (karbohidrat).
Akumulasi karbohidrat atau gula bebas inilah yang kemudian menjadi bahan pokok dalam produksi energi bersih.
Penggunaan biomassa tanaman sebagai energi diduga dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memperbaiki masalah pencemaran lingkungan.
Dalam praktiknya, biomassa dapat diubah menjadi energi melalui berbagai proses.
Proses tersebut seperti pembakaran langsung untuk menghasilkan panas, konversi termokimia, konversi kimia, dan konversi biologis.
Metode yang paling umum untuk mengubah biomassa menjadi energi adalah pembakaran.
Pada prinsipnya, semua biomassa dapat dibakar secara langsung. Pembakaran tersebut dilakukan untuk menghasilkan panas pada proses industri atau bahkan menghasilkan listrik dalam turbin uap.
Konversi termokimia biomassa terdiri atas dua proses umum, yaitu pirolisis dan gasifikasi.
Keduanya dilakukan melalui proses dekomposisi termal di mana bahan baku biomassa dipanaskan dalam bejana tertutup dan bertekanan.
Proses pirolisis sendiri memerlukan pemanasan bahan organik hingga 800-900oF (400-500 oC). Syaratnya pembakaran dilakukan dengan kondisi hampir tidak ada oksigen bebas. Hasil yang didapatkan meliputi bahan bakar seperti arang, bio-oil, diesel terbarukan, metana, dan hidrogen.
Berbeda dengan pirolisis, gasifikasi memerlukan pemanasan bahan organik yang lebih besar yakni 1.400-17.00o °F (800-9.00o °C). Prosesnya dilakukan dengan injeksi oksigen bebas dan/atau uap dalam jumlah terkontrol.
Hasil yang diperoleh berupa karbon monoksida dan gas kaya hidrogen atau dikenal sebagai gas sintesis atau syngas.
Syngas dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel, pemanas, dan pembangkit listrik pada turbin gas.
Lebih lanjut, melalui proses Fischer–Tropsch, syngas bahkan dapat menghasilkan bahan bakar cair.
Proses konversi kimia dikenal dengan proses transesterifikasi.
Pada dasarnya proses ini bertujuan untuk mengubah minyak nabati, lemak hewani, lemak bekas/lemak daur ulang menjadi Fatty Acid Methyl Esters (FAME). Kemudian senyawa tersebut lebih lanjut digunakan untuk memproduksi biodiesel.
Di samping itu, proses transesterifikasi juga menghasilkan produk sampingan berupa gliserin yang menyumbang hampir 10% dari total produk akhir.
Sayangnya, gliserin tidak memiliki nilai ekonomi yang berarti.
Meskipun demikian, para peneliti menemukan bahwa gliserin mentah dapat diproses untuk menghasilkan produk bernilai tinggi seperti poliol dan busa poliuretan melalui proses fermentasi.
Secara biologis, fermentasi dilakukan dengan mengubah biomassa menjadi etanol dan gas alam terbarukan.
Umumnya, etanol digunakan sebagai bahan bakar kendaraan.
Sementara gas alam terbarukan atau disebut sebagai biogas atau biometana memiliki kegunaan yang sama dengan gas alam bahan bakar fosil apabila diolah dengan tepat.
Jenis-jenis Tumbuhan yang Cocok untuk Produksi Biomassa Tanaman
Secara umum semua jenis kayu dapat dijadikan sebagai bahan bakar.
Namun, untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan beberapa kriteria khusus.
Pada tanaman energi dibutuhkan jenis yang adaptif, mudah dibudidayakan dan dipelihara, serta bertumbuh cepat dengan umur optimal yang pendek.
Selain itu, diperlukan juga tanaman yang dapat dikembangkan dengan sistem pangkas/trubusan (coppice system) dengan nilai kalor yang tinggi dan mudah kering.
Sesuai dengan kriteria tersebut, beberapa jenis kayu energi telah dikembangkan di Indonesia, seperti:
- Kaliandra,
- Lamtoro,
- Pilang
- Akor
- Turi
- Gamal
- Akasia, dan
- Weru.
Jenis gamal dan akasia memiliki nilai kalor yang relatif tinggi dibandingkan dengan nilai kalor batubara hitam dan batubara cokelat.
Lebih lanjut, tanaman perkebunan seperti sawit juga sangat potensial dikembangkan sebagai penghasil biomassa, khususnya melalui limbah yang dihasilkan.
Limbah padat tandan kosong sawit (TKS) dan limbah cair palm oil mill effluent (POME), memiliki tingkat energi yang cukup besar.
Hal ini menunjukkan peluang yang baik bagi tanaman untuk masuk ke dalam sektor energi.
Perlu diingat bahwa pengembangan kayu energi harus memperhatikan kesesuaian jenis dengan kondisi tapak.
Jenis-jenis yang mempunyai produktivitas yang tinggi di suatu tapak tertentu belum tentu mempunyai produktivitas yang sama jika dikembangkan di tapak lain.
Oleh karena itu, pengembangan kayu energi di suatu daerah dapat dilakukan melalui jenis-jenis lokal yang mempunyai kualitas baik sebagai kayu energi.
Pemanfaatan Biomassa di Tanah Air
Pemerintah Indonesia serius menggarap program pengembangan energi alternatif pengganti minyak bumi secara menyeluruh.
Hal tersebut ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Biofuel dikabarkan dapat mengurangi emisi karbon hingga 60% dibandingkan bahan bakar fosil.
Kondisi ini disebabkan salah satunya oleh aktivitas serapan karbon pada tanaman bioenergi yang dibudidayakan.
Di samping itu, para ahli percaya bahwa penggunaan biofuel sebagai biodiesel sebesar 100% pada mesin diesel dapat mengurangi emisi gas CO2 sebanyak 75%.
Nilai tersebut merupakan perbandingan dengan emisi minyak solar. Penggunaan biodiesel juga menghasilkan lebih sedikit partikulat seperti CO, CO2 dan SOx.
Di sisi lain, pemanfaatan biomassa kayu sebagai sumber energi juga menunjukkan kabar baik.
Balai Besar Teknologi Konversi Energi (B2TKE) melalui proyek “Wood Chips and Wood Pellets as Alternative Biomass Sources in Indonesia” melakukan pengkajian terhadap potensi penerapan co-firing. Co-Firing dilakukan melalui penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam boiler batubara.
Uji yang dilakukan membuahkan hasil yang menggembirakan. Campuran biomassa dengan batubara menunjukkan efisiensi kelistrikan yang meningkat.
Co-firing batubara dengan biomassa menggunakan Circulated Fluidized Bed (CFB) menjadi teknologi yang menjanjikan yang dapat mengurangi emisi CO2. Selain itu, biomassa kayu mengandung sulfur yang jauh lebih sedikit daripada kebanyakan batubara.
Ini berarti co-firing akan mengurangi emisi sulfur dioksida.
Lebih lanjut, hasil uji co-firing biomassa kayu juga menunjukkan pengurangan oksida nitrogen.
Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Sahid Junaidi, menyebutkan tantangan terbesar dalam implementasi co-firing biomassa yakni menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa.
Langkah tersebut dilakukan untuk menjaga harga listrik tetap terjangkau dan tidak melebihi biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan.
Namun, ia juga menyebutkan bahwa implementasi co-firing PLTU dapat meningkatkan skala ekonomi biomassa. Pasalnya, co-firing juga dinilai berdampak positif terhadap pengembangan ekonomi kerakyatan karena dapat membuka lapangan kerja dan peluang bisnis di sektor biomassa.
Masa Depan Biomassa Tanaman
Biomassa tanaman merupakan sumber energi serbaguna yang dapat digunakan sebagai produksi panas, listrik, bahan bakar transportasi, dan biomaterial.
Di samping itu, penggunaan dan produksi biomassa yang berkelanjutan, dapat berperan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
Aspek tersebut membuat biomassa menjadi pilihan idaman di antara energi terbarukan lainnya.
Biofuel sendiri menunjukkan perkembangan yang pesat beberapa dekade terakhir. Peran ini diwujudkan melalui peningkatan kapasitas produksi, peningkatan arus perdagangan internasional, dan adanya persaingan dengan pertanian konvensional.
Tidak hanya itu, persaingan dengan industri kehutanan juga mengalami peningkatan. Keberlanjutan produksi biofuel bahkan sudah menjadi buah bibir dalam kancah internasional.
Namun, persaingan penggunaan lahan menjadi tantangan tersendiri bagi keberlanjutan penggunaan biomassa.
Perdagangan biomassa dan potensi pendapatan dari biomassa dapat memberikan peluang besar bagi pedesaan melalui pengembangan dan peningkatan metode produksi pertanian, mengingat ukuran pasar yang digunakan adalah biomassa dan biofuel.
Di sisi lain, diperlukan alat untuk menjamin produksi biomassa dan biofuel yang berkelanjutan. kebijakan tersebut dilakukan melalui pengamanan yang mapan dan berskala internasional, misalnya dengan skema sertifikasi.
Skema sertifikasi diharapkan mampu memberikan kesempatan yang besar bagi desa untuk berkembang.
Penulis: Shofy Khairunnisa