Crustacea Pada Ekosistem Mangrove

Gambar 1. Hutan Mangrove – Crustacea Pada Ekosistem Mangrove
Gambar 1. Hutan Mangrove

Ekosistem Mangrove

Indonesia merupakan negara dengan luasan lahan mangrove terbesar di dunia. Indonesia kurang lebih memiliki sekitar 4,5 juta hektar lahan mangrove. Mangrove atau lebih dikenal dengan sebutan hutan bakau merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut (pesisir). Ekosistem ini juga berada pada wilayah muara sungai. Oleh karena itu, keberadaan ekosistem ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove dapat diartikan sebagai kelompok tumbuhan yang terdiri dari berbagai spesies dan jenis yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan kemampuan penyesuaian diri dan hidup di lingkungan yang sama. Di Indonesia, mangrove identik dengan salah satu jenis vegetasinya yaitu bakau, sehingga orang lebih mengenal ekosistem ini dengan hutan bakau. 

Ads

Hutan mangrove tumbuh di sepanjang pesisir pantai, muara sungai, bahkan beberapa spesies tumbuh di rawa (tanah gambut). Komunitas dan pertumbuhan hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor alam, misalnya tipe tanah, salinitas, pasang surut, serta frekuensi gelombang. Tanah berlumpur sangat baik sebagai media tumbuh bagi sebagian besar spesies mangrove di Indonesia. Rhizophora mucronata dan Avicennia marina merupakan dua contoh spesies yang dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah tersebut.  Sementara itu, spesies seperti Rhizophora stylosa tumbuh baik pada media tanah berpasir.  Spesies mangrove juga dapat tumbuh pada media pantai berbatu seperti misalnya Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba. Pasang surut air laut telah membentuk formasi atau zona hutan mangrove.  Pada wilayah yang selalu tergenang oleh air laut ditumbuhi Avicennia alba dan Sonneratia alba pada dengan media tumbuh berupa pasir, sementara pada substrat berlumpur bagian depan didominasi oleh Rhizophora mucronata.  Areal yang digenangi oleh pasang sedang adalah jenis-jenis Rhizopora atau yang dikenal dengan bakau.  Spesies ini antara lain Rhizophora mucronata, Rhizopora stylosa, dan Rhizophora apiculata. Adapun wilayah yang hanya digenangi pada saat pasang tertinggi didominasi oleh spesies Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. Wilayah ini berada di bagian yang paling dekat dengan daratan. Kenyataan di lapangan sering berbeda dengan formasi zona yang umum ini.  Berbagai spesies kadang tercampur dan tumpang tindih dalam zona tersebut.  Perbedaan ini juga terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Fenomena yang terjadi pada hutan mangrove dicirikan dengan adanya zonasi oleh jenis tumbuhan yang dominan, selain itu fauna penghuni hutan mangrove pun juga memperlihatkan adanya zonasi. Penyebaran fauna penghuni hutan mangrove memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran secara vertikal dan secara horizontal. Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh jenis fauna yang hidupnya menempel atau melekat pada, akar, cabang maupun batang pohon mangrove, misalnya jenis Littorina scabra, Nerita albicilla, Monetaria annulus dan Melongena galeodes Pada fauna seperti crustacea, tipe penyebaran pada ekosistem mangrove dilakukan secara horizontal. Distribusi fauna secara horizontal pada areal hutan mangrove yang sangat luas, biasanya memperlihatkan pola zonasi fauna yang dominan dan sejajar dengan garis pantai. Zonasi yang terjadi di daerah ini sangat erat kaitannya dengan perubahan sifat ekologi yang sangat ekstrim yang terjadi dari laut ke darat. 

Spesies Crustacea pada Ekosistem Mangrove

Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem hutan mangrove adalah sebanyak 54 jenis, dan umumnya didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat dikategorikan sebagai golongan infauna, sedangkan beberapa jenis udang (Macrura) yang ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian besar hanya sebagai penghuni sementara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai tempat menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun utama fauna Crustacea hutan mangrove. Berikut merupakan beberapa spesies dominan crustacea yang menjadi bagian dari ekosistem mangrove.

Udang Ketak (Thalassina anomala)

Gambar 2. Thalassina Anomala – Crustacea Pada Ekosistem Mangrove
Gambar 2. Udang Ketak

Thalassina anomala (Ordo Decapoda, Famili Thalassinidea), atau dalam bahasa Inggris disebut mud lobster dan di Indonesia dikenal dengan sebutan udang ketak, merupakan spesies khas penyusun ekosistem mangrove. Kelompok spesies ini hidup dan menetap dalam sarang berupa gundukan (mounds) yang berada di permukaan tanah yang tingginya bisa mencapai 1-2 meter. membuat liang (crabs hole) yang berada jauh dari permukaan tanah secara vertikal dan bercabang-cabang menuju ke sumber perairan. Kedalaman liang diperkirakan mencapai 2 meter atau lebih. Thalassina anomala termasuk dalam kelompok burrowing crustacea (Crustacea penggali) yang melakukan aktivitas harian seperti, menggali tanah untuk membuat liang dan hidup pada substrat tertentu.

Ads
Kapan jaga hutan? Sekarang! Buka lindungihutan.com

Kepiting Bakau (Scylla sp.)

Gambar 3. Kepiting Bakau Ungu Scylla tranquebarica – Crustacea Pada Ekosistem Mangrove
Gambar 3. Kepiting Bakau Ungu (Scylla tranquebarica)

 

Kepiting bakau (Scylla sp.) tergolong dalam famili Portunidae yang hidup hampir di seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi mangrove, perairan dangkal yang dekat dengan hutan mangrove, estuari, dan pantai berlumpur yang berperan dalam peranan ekologis lainnya. Kepiting bakau (Scylla sp.) adalah hewan yang beradaptasi kuat dengan hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang luas. Hal ini disebabkan karena kepiting bakau memiliki toleransi yang luas terhadap faktor abiotik terutama pada suhu dan. Ketersediaan jenis biota laut seperti kepiting terdapat di sepanjang pantai yang dipengaruhi oleh pasang-surut dan memiliki berbagai macam variasi lingkungan dari hutan mangrove. Spesies kepiting bakau yang paling dominan ditemukan pada ekosistem mangrove yaitu Scylla serrata dan Scylla tranquebarica (kepiting bakau ungu)

 

Udang Penaeid (Penaeus sp.)

Gambar 4. Udang Windu – Crustacea Pada Ekosistem Mangrove
Gambar 4. Udang Windu 

Udang windu (Penaeus monodon) pada stadia larva (benih) umumnya terdapat di sepanjang pantai yang landai dengan tingkat pasang surut yang beragam. Udang ini ditemukan di aliran sungai kecil berdasar lumpur, pasir, dan daerah berbatu-batu kecil. Penaeus merguiensis dan Penaeus indicus, memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap semua tipikal dasar perairan, namun, dalam sebagian besar siklus hidupnya lebih menyukai dasar perairan lumpur liat berpasir. Penaeus latisulcatus dan Penaeus monodon menyukai perairan dengan tekstur dasar lumpur berdebu (lumpur dengan substrat). Beberapa hal tersebut menjadikan hutan mangrove yang memiliki dasar perairan berupa lumpur, merupakan habitat yang paling disukai oleh jenis udang penaeid, dikarenakan rantai makanan yang tidak pernah putus menjadikannya sebagai tempat yang sangat baik untuk berlindung, tempat bertelur dan tempat mencari makan. Jenis udang putih atau jerbung (Penaeus merguiensis) pada tingkat larva memakan balanus, copepoda, polychaeta, dan pada tingkat post larva selain jasad-jasad renik, juga memakan fitoplankton dan alga hijau. Pada tingkat mysis, jenis udang Penaeus monodon cenderung memakan diatom dan zooplankton yang berada di sekitar ekosistem mangrove.

 

Kepiting Tapal Kuda 

Gambar 5. Kepiting Tapal Kuda – Crustacea Pada Ekosistem Mangrove
Gambar 5. Kepiting Tapal Kuda

Kepiting tapal kuda atau lebih dikenal dengan belangkas (Limulus sp.) merupakan salah satu hewan penghuni mangrove paling aneh yang pernah dikenal manusia. Keanehan pertama jelas bisa dilihat pada bentuknya yang berbeda daripada makhluk-makhluk laut lainnya, terutama dari segi anatomi dan morfologi. Tubuhnya terlihat seperti ikan pari dengan cangkang yang keras. Bentuk cangkang pada bagian depannya mirip dengan tapal kuda, sehingga belangkas lebih dikenal dengan sebutan ‘kepiting tapal kuda’ (horseshoe crab) di luar Indonesia. Ketika melihat struktur dalam klasifikasi ilmiah, belangkas termasuk bagian dari filum Arthropoda (hewan yang memiliki tubuh beruas-ruas) seperti kepiting, serangga, udang, dan kelabang yang juga termasuk dalam filum tersebut. Penggolongan berdasarkan struktur morfologi belangkas yang memiliki 6 pasang kaki dan tubuh beruas-ruas. Terdapat empat spesies belangkas yang telah diketahui dan diteliti manusia, semua spesies tersebut yang masih hidup hingga saat ini. Keempat spesies tersebut digolongkan ke dalam famili Limulidae. Habitat asli belangkas mencakup seluruh pesisir Asia Pasifik (termasuk Indonesia), Asia Selatan, dan bagian tenggara benua Amerika Utara. 

Morfologi belangkas adalah sebagai berikut: tubuhnya diselubungi cangkang yang keras dan berwarna kecoklatan. Ditinjau dari segi anatomis, tubuh dari belangkas terbagi menjadi 3 bagian utama yang masing-masingnya dipisahkan oleh sambungan tipis atau segmen: kepala (prosoma), perut (opisthosoma), dan ekor (telson). Di bagian kepala terdapat 9 mata yang letaknya terpencar-pencar: 1 di masing-masing sisi kepala, 5 di bagian depan, dan 2 di bagian bawah kepala. 

Belangkas merupakan hewan yang bersifat nokturnal (aktif dan beraktivitas pada malam hari), terutama pada saat bulan purnama. Belangkas aktif mencari mencari makan pada saat beraktivitas, makanan belangkas mencakup organisme dasar penghuni perairan mangrove seperti cacing laut, kerang, Crustacea, dan bahkan larva ikan. Agar mendapatkan mangsanya, belangkas memiliki rambut-rambut kecil di sekitar mulutnya untuk mendeteksi bau dari calon mangsanya. Hal tersebut dikarenakan hewan yang menjadi target belangkas memiliki perilaku mengubur diri atau bersembunyi di dalam pasir. Belangkas juga sering melakukan penggalian pada dasar perairan untuk mendapatkan makanan.

Kepiting Pemanjat Pohon (Episesarma sp.)

Gambar 6. Kepiting Pemanjat – Crustacea Pada Ekosistem Mangrove
Gambar 6. Kepiting Pemanjat 

Kepiting pemanjat pohon memiliki ukuran sekepal tangan orang dewasa. Kepiting tersebut memiliki pasangan anggota tubuh bernama maksiliped yang digunakan untuk aktivitas makan. Diameter maksiliped dapat mencapai hingga 6 cm. Kepiting ini hidup secara berkelompok di dasar perairan mangrove. Pada luas wilayah 25 m2, dapat ditemukan lima sampai dengan enam lubang, satu lubang tersebut digunakan untuk satu individu kepiting. Untuk membedakan jenis kelamin dan spesies, kita dapat melihat dari warna capitnya. Kepiting jantan, memiliki bentuk abdomen atau perut yang lancip. Kepiting tersebut akan kembali kedalam lubang setelah mencari makan. Ciri khas dari kepiting ini yaitu gemar memanjat tumbuhan mangrove. Semua spesies dari kepiting pemanjat pohon memiliki nilai ekonomis dan dapat dikonsumsi oleh manusia.

 

Manfaat Mangrove Bagi Kelangsungan Hidup Crustacea

Beberapa jenis hewan laut terutama jenis crustacea yang banyak menempati hutan mangrove yaitu udang, kepiting, kelomang dan lainya. Dikarenakan Crustacea menggunakan hutan mangrove sebagainya sebagai tempat untuk berlindung dari predator, terutama untuk Crustacea yang berukuran larva (benih) hingga juvenile (remaja). Crustacea juga memanfaatkan hutan mangrove untuk mendukung dan melakukan proses pemijahan, sehingga menjadikan hutan mangrove sebagai nursery ground (tempat pembibitan) untuk membantu membesarkan keturunan mereka. Proses pemijahan adalah proses pengeluaran sel telur oleh induk betina dan sperma oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan pembuahan. pohon mangrove yang berbentuk tongkat adalah bagian yang berfungsi sebagai pemberi zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi avertebrata, khususnya Crustacea. Akar pohon mangrove juga dapat melindungi telur kepiting, ikan, dan udang yang baru menetas.

 

Manfaat Mangroves Crustacea Bagi Kehidupan Manusia

Banyak spesies dari golongan Crustacea yang terdapat pada mangrove memiliki peran yang penting bagi manusia, peranan yang paling utama yaitu dalam segi ekonomis, Crustacea dapat dikonsumsi dan diolah menjadi bahan baku farmasi. Salah satu contoh yang mempunyai nilai ekonomis penting dan bergizi tinggi adalah udang windu (Penaeus monodon), yang sejak sekitar tahun 1980 mulai dijadikan komoditas perikanan unggul di indonesia. Status produksi udang windu saat itu selalu terjadi peningkatan hingga sampai dengan tahun 1993 udang windu (Penaeus monodon) merupakan primadona andalan komoditas ekspor non-migas, baik dari sektor perikanan budidaya, maupun perikanan tangkap. 

Selain udang windu, terdapat pula udang jerbung (Penaeus merguiensis) atau yang dikenal juga dengan udang putih sudah lama menjadi salah satu jenis seafood yang diperdagangkan di dunia. Selama ini, udang jerbung lebih banyak didapatkan dari hasil penangkapan di wilayah mangrove maupun wilayah pantai, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa udang ini sudah banyak dibudidayakan. Dalam catatan FAO (Food and Agriculture Organization), tren produksi penangkapan banana shrimp terus meningkat sejak tahun 1950-an. Potensi udang jerbung dapat dikatakan tinggi sebagai bahan baku seafood yang bernilai ekonomi, warga Jepang dan negara-negara di wilayah Asia Timur memiliki kebutuhan tinggi dalam mengkonsumsi udang ini. Dikarenakan rasanya yang lezat, alasan lain konsumen di Asia Timur (terutama Jepang) menyukai udang merguiensis karena warnanya yang cenderung lebih merah saat dimasak. Dikarenakan permintaan terhadap komoditas udang jerbung sangat tinggi, sangat mungkin membuka peluang pasar yang sangat tinggi.

Kepiting tapal kuda (Limulus sp.) saat ini memiliki banyak manfaat dalam bidang pengobatan sebagai salah satu bahan utama untuk membuat vaksin COVID-19. Darah kepiting tapal kuda yang berwarna biru harganya mencapai Rp.844.- juta per galon. Warna biru dalam darah kepiting ini berasal dari kandungan tembaga dalam haemocyanin yang membawa oksigen ke dalam darah. Karenanya warna darahnya, bukan tanpa alasan mengapa darah kepiting tapal kuda harganya sangat mahal. Menurut laporan yang dilansir dari beberapa penelitian, darah kepiting tapal kuda ini mengandung zat pembekuan khusus yang disebut Limulus Amebocyte Lysate (LAL). LAL berfungsi dalam menentukan apakah vaksin tersebut aman dari kontaminasi. Karenanya darah biru dari kepiting ini menjadi salah satu komponen utama dalam pembuatan vaksin COVID-19. Namun karena jumlah kepiting tapal kuda yang tak banyak, darah biru kepiting ini menjadi langka. Banyak dari kepiting tapal kuda yang mati ketika darahnya dikuras selama proses pengambilan. Sisanya yang masih hidup dikembalikan ke habitat awalnya. Banyak organisasi pecinta hewan mengecam penggunaan darah kepiting secara berlebihan sebagai bahan vaksin COVID-19, ini akan berakibat pada penurunan jumlah kepiting karena kebutuhan manusia.

Gambar 7. Darah Kepiting Tapal Kuda yang diekstraksi – Crustacea Pada Ekosistem Mangrove
Gambar 7. Darah Kepiting Tapal Kuda yang diekstraksi

 

Writer: Raihan Rivai

Daftar Literatur

Anonim. 2019. Mengenal Belangkas si Pari Kepiting dan Manfaatnya (kanal73.com). diakses 13 Januari 2021 Pukul 7.33 WIB. 

Anonim. 2020. Manfaat Hutan Mangrove Bagi Hewan Laut – Aruna. Diakses 13 Januari 2021 pukul 12.22 WIB. 

Asep. 2020. Udang Jerbung, Apa Bisa Untung?, Inti Akua -Trobos Aqua.com. Diakses 13 Januari 2021 pukul 11.51 WIB.

Arief, M. G. Mahasri, dan A. T. Mukti. 2015. Peningkatan hasil panen udang pada budidaya udang tradisional desa Permisan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo untuk mengurangi waktu panen menggunakan metode Best Management Practice (BMP). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 7(1): 17-23.

Basoni, S. 2020. Dibutuhkan untuk Vaksin COVID-19, Darah Kepiting Tapal Kuda Harganya Rp 844 Juta (detik.com). Diakses 14 Januari 2021 pukul 17.14

Farista, D. 2017. Sembilan Jenis Fauna yang Ditemukan di Kawasan Mangrove Jepara – MANGROVEMAGZ.COM. Diakses 15 Januari 2021 pukul 14:00 WIB.

Gita, R. S. D. 2016. Keanekaragaman jenis kepiting bakau (Scylla spp.) di taman nasional Alas Purwo. Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi. 1(2): 148-161.

Karimah. 2017. Peran Ekosistem Hutan Mangrove Sebagai Habitat Untuk Organisme Laut. Jurnal Biologi Tropis. 17(2): 51-58. 

Kartika, W. D. 2015. Variasi morfometri udang ketak darat Thalassina anomala (Herbst) di kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi. Prosiding Semirata 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat. H179-189.

Pratiwi, R. 2008. Aspek Biologi Udang Ekonomi Penting. Oseana. 33(2): 16-24

Sumarmin, R., A. Razak, M. I. Fajri. 2017. Morfometri kepiting tapal kuda dari daerah sungai Nipah dan Air Bangis Sumatera Barat. Berkala Ilmiah Biologi. 1(2): 24-32

Wanadri. 2015. Ekosistem Mangrove . Diakses 14 Januari 2021 pukul 12.30 WIB

Referensi Gambar

https://indonesiainside.id/lifestyle1/2019/07/13/5-manfaat-hutan-mangrove-bagi-kehidupan-kita (G1)

https://www.reeflex.net/tiere/8974_Thalassina_anomala.htm (G2)

https://www.indozone.id/fakta-dan-mitos/kJs1X6/kepiting-bakau-menjaga-keseimbangan-ekosistem-mangrove (G3)

https://www.melekperikanan.com/2020/01/udang-windu.html (G4)

https://www.indozone.id/fakta-dan-mitos/kJs1X6/kepiting-bakau-menjaga-keseimbangan-ekosistem-mangrove (G5)

https://mangrovemagz.com/2017/04/16/sembilan-jenis-fauna-yang-ditemukan-di-kawasan-mangrove-teluk-awur-jepara/  (G6)

https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/09/080100723/ternyata-tes-pengujian-vaksin-covid-19-butuh-darah-dari-hewan-ini?page=all  (G7)

 

LindungiHutan.com adalah Platform Crwodfounding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealamuntuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dan bahaya abrasi yang dapat merugikan banyak pihak.

 

Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!

Author

Hitung emisi karbon dengan Imbangi.