Hutan Bakau: Kelambu Alami Malaria

Hutan bakau merupakan ekosistem paling penting di pesisir pantai. Hutan yang hidup di pesisir pantai dan rawa-rawa air payau ini menyediakan dan menunjang kehidupan pesisir. Secara ringkas, hutan ini dapat mencegah erosi air laut, abrasi, mencegah intrusi air laut masuk ke dalam air tanah, penyaring alami, tempat tinggal berbagai satwa, serta membentuk pulau/lahan baru melalui sedimentasi. Selain itu, hutan ini juga memiliki fungsi yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia, terutama di Indonesia. Hutan yang berada di pesisir ini dapat menjadi penangkal Malaria.
Seperti yang kita ketahui, malaria adalah penyakit berbahaya yang telah memakan ribuan nyawa di Indonesia. Plasmodium, parasit penyebab malaria, bekerja dengan menghancurkan sel darah dan menyebabkan anemia. Walaupun dapat disembuhkan secara total, penyakit ini bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan tepat. Umumnya, kematian terjadi karena komplikasi seperti anemia berat, gagal ginjal, kerusakan otak, hipoglikemia, dan kegagalan fungsi organ. Satu-satunya bentuk pencegahan malaria hanya dengan menghindari gigitan nyamuk.

Kemampuan hutan ini dalam bekerja sebagai kelambu alami untuk menangkal Malaria. Seperti yang tertulis sebelumnya, hutan bakau adalah tempat tinggal dari berbagai satwa dari primata, burung, ikan, hingga serangga. Dalam ekosistemnya yang sehat, serangga atau nyamuk menjadi konsumen tingkat I. Segala kebutuhannya dapat terpenuhi dengan menghisap darah dari hewan-hewan yang ada dalam ekosistem ini. Hewan-hewan lain juga menjadikan nyamuk sebagai mangsa mereka. Ini yang kita kenal sebagai rantai makanan dan ekosistem yang sehat. Nyamuk dapat tinggal dengan nyaman di sini, ia tidak perlu masuk ke dalam pemukiman untuk mendapatkan sumber makanan. Dengan kata lain, hutan ini menjadi kelambu/pembatas alami antara nyamuk Anopheles dan manusia.
Akibat Hilangnya Hutan Bakau
Dengan hilangnya hutan bakau dari Indonesia, tidak dapat dipungkiri akan meningkatkan jumlah korban Malaria. Nyamuk Anopheles yang dulunya menjadikan hutan ini sebagai sarang akan masuk ke dalam lingkup hidup manusia. Nyamuk ini tidak hanya akan menjadikan manusia sebagai sumber makananya, tetapi akan bersarang juga di pemukiman yang ada. Ia akan menyimpan telurnya di genangan air, kolam, maupun danau buatan yang ada. Akibatnya, populasi nyamuk akan meningkat dan korban malaria akan semakin berjatuhan.
Selain meningkatkan jumlah korban malaria, hilangnya peran hutan bakau dapat meningkatkan abrasi pantai, menurunkan kualitas air, dan merusak keseimbangan ekosistem alam yang berujung pada kelangkaan satwa. Hutan ini berperan dalam mencegah abrasi pantai akibat gelombang pasang surut air laut. Akan tetapi, abrasi pantai akan semakin meningkat dengan hilangnya jenis hutan ini dari pesisir Indonesia. Hal ini akan menyebabkan air laut naik ke daratan dan masuk ke dalam air tanah dan berujung pada berkurangnya jumlah air tawar yang ada. Selain itu, hilangnya peran hutan b yang menjadi habitat banyak satwa akan mendatangkan kelangkaan terutama pada satwa yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem hutan bakau.
Eksistensi Hutan Bakau

Lahan hutan bakau di Indonesia hampir seluas Belgia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (2020) menyatakan bahwa terdapat 3,31 juta hektar luas lahan hutan ini yang tersebar dari pesisir Sumatera hingga Papua. Akan tetapi, hal ini tidak memperbaiki kerusakan yang terjadi setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), 52.000 ha hutan bakau Indonesia hilang atau rusak tiap tahunnya (dalam Hari Bumi 2019: Kenali Perbedaan Bakau Dan Mangrove Serta Urgensi Penanaman Maupun Pelestariannya, 2019). Tanpa adanya kesadaran yang nyata oleh seluruh pihak, jenis hutan ini di Indonesia akan hilang dan rusak selamanya.
Sayangnya, penipisan ini diakibatkan oleh ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang menebang dan merusak hutan bakau. Kebanyakan hutan ini ditebang untuk dijual di Singapura sebagai bahan konstruksi dan dijadikan lahan tambak oleh masyarakat lokal. Mereka melakukan hal ini atas dasar kebutuhan ekonomi dan harus mengorbankan hutan. Selain itu, sering kali dilakukan penimbunan reklamasi atau bahan bangunan saat adanya proyek. Akan tetapi, hal ini dilakukan tanpa peduli kondisi dan kerusakan yang ditinggalkan. Oknum-oknum ini tidak memiliki inisiatif apapun untuk memperbaiki atau mereboisasi hutan yang telah mereka rusak. Pencemaran yang dilakukan oleh masyarakat atau turis di area hutan ini dapat merusak ekosistem hutan. Saat kita membuang sampah sembarangan di laut maupun di sungai, sampah-sampah tersebut akan terbawa arus dan tersangkut di akar-akar tanaman bakau. Sampah tersebut akan mengendap, menutupi pernapasan, dan menghambat pertumbuhan tanaman bakau. Akibatnya, ekosistem hutan ini rusak dan berkurangnya lahan hutan bakau yang menjadi tempat tinggal bagi banyak satwa.
Upaya Konservasi
Melihat kenyataan ini, pemerintah, beberapa kelompok masyarakat, dan organisasi berusaha merawat dan melindungi hutan bakau di pesisir Indonesia. Hal ini tidak hanya dilakukan untuk mengurangi korban malaria, tetapi demi masa depan Indonesia juga. Sebagai negara kepulauan, kita bergantung pada hutan di pesisir ini untuk mencegah abrasi dan erosi di pesisir pantai. Tanpa jenis hutan ini, kita akan kehilangan pantai-pantai indah, satwa unik, lahan kering, dan air bersih.
Melindungi hutan bakau bukan tanggung jawab satu atau dua orang, tapi tanggung jawab kita semua. Banyak hal yang bisa kita lakukan, mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menyebarkan kesadaran, dan menanam bibit bakau. Selain itu, ada banyak organisasi yang berusaha merawat hutan bakau yang dapat kita ikuti atau bantu melalui donasi, salah satunya melalui lindungihutan.com. Ingat! Ini bukan tugas kamu atau aku, tapi kita semua untuk masa depan bangsa.
Penulis: Jeannette Sharon
Referensi Literatur:
Gema, P. (2019, August 5). Merusak Bakau Sama Saja Menyebarkan Penyakit Malaria. BatamToday. https://batamtoday.com/home/read/134190/merusak-bakau-sama-saja-menyebarkan-penyakit-malaria.
Gunawan, A. (2016, November 17). Mau Bebas Demam Berdarah dan Malaria? Tanamlah Mangrove. Mangrove Magz.Com. https://mangrovemagz.com/2016/11/17/mau-bebas-demam-berdarah-dan-malaria-tanamlah-mangrove/.
Hari Bumi 2019: Kenali Perbedaan Bakau dan Mangrove Serta Urgensi Penanaman Maupun Pelestariannya. (2019, April 22). Indonesian Center for Environmental Law. https://icel.or.id/isu/hari-bumi-2019-kenali-perbedaan-bakau-dan-mangrove-serta-urgensi-penanaman-maupun-pelestariannya/#_ftn4.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020, August 5). Luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,31 juta hektar yang tersebar dari pesisir Sumatra sampai Papua. Kementerian Lingkungan Hidup [Facebook Status Update]. Facebook. https://id-id.facebook.com/HumasKemenLHK/posts/2997838253677204.
Zulfikar, A. (2020, July 17). 8 Manfaat HutanBakau untuk Kehidupan Lingkungan di Pesisir Pantai. 99.Co. https://www.99.co/blog/indonesia/manfaat-hutan-bakau-pesisir-pantai/.
Referensi Gambar:
Kerusakan Hutan Mangrove semakin parah (dok.Walhi Aceh for JawaPos.com). (2018, March 7). [Photograph]. JawaPos.Com. https://www.jawapos.com/jpg-today/07/03/2018/85-persen-hutan-mangrove-aceh-rusak/
[Photograph]. (n.d.). 99.Co. https://www.99.co/blog/indonesia/manfaat-hutan-bakau-pesisir-pantai/
[Photograph]. (n.d.-b). Alodokter. https://www.alodokter.com/malaria
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan.
Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk melakukan kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di berbagai daerah. Mari kita sama-sama melestarikan lingkungan dan menjaganya.
Yuk bergabung bersama kami sebagai pioneer penghijauan!