
“Blue Carbo? Karbohidrat biru? Ngawur! Blue Carbon yang bener. Hehe”
Carbo emang bikin gendut. Saya selalu merasa insecure apabila orang-orang menanyai saya soal berat badan. Menurut saya itu sedikit kurang pantas. Hehe. Tapi ini bukan soal itu ya!
Cerita mengenai blue carbon atau karbon biru memang tidak semulus pantat xabiru. Ini adalah cerita tentang karbon yang tersimpan nan jauh di bawah samudera biru luas membentang–tjakep! Disanalah tepatnya jutaan metrik ton karbon ditahan sementara, atau sedang digunakan sebagai bahan metabolisme bagi vegetasi para penghuni wilayah pesisir.
Baca Lainnya : Adakah Jejak Karbon di Makanan Kalian?
Seperti film avatar: Suku api lawannya suku air
Mari kita berkaca terlebih dahulu. Indonesia adalah negara maritim. Faktanya negara kita mampu memasok kurang lebih 10% kebutuhan perikanan dunia, serta memiliki garis pantai yang membentang terhitung 55 ribu kilometer jauhnya, menyimpan potensi alam dunia di setiap sudutnya. Setiap kehidupan yang terbentuk di setiap kilometer tersebut membentuk sebuah reaksi timbal balik dimana sering disebut sebagai ekosistem pesisir, yang ternyata memiliki peran vital dalam menekan emisi karbon.
Pernah merasa mager keluar karena kepanasan? Iya, itu ulah dari emisi karbon yang satu ini. Emisi karbon dapat dijelaskan dengan sejumlah gas rumah kaca yang berasal dari berbagai aktivitas manusia, terdiri dari CO2 (yang utama), O3, CH4, CFC dan masih banyak gas lainnya. Gas keluaran ini berasal dari banyak sektor termasuk yang terbesar adalah dari sektor kelistrikan & penghasil panas sebesar 25% dan sektor penggunaan lahan sebesar 24% secara global. Saat gas ini dilepaskan ke atmosfer, efek rumah kaca (bukan grup bandnya cholil mahmud ya!) akan terbentuk, yang kemudian menyebabkan meningkatnya suhu bumi akibat radiasi matahari yang memantul lagi ke permukaan bumi.
Bikin panas aja tau ga sih!—
Bagaimana peran ekosistem pesisir menekan emisi karbon dan blue carbon?
Dari sini kita coba sedikit serius. Tapi santai. Tapi serius
Apa yang menyebabkan bumi kita semakin panas selalu berbanding lurus dengan jumlah emisi karbon. Dengan kata lain, penekanan jumlah emisi karbon akan mencegah semakin panasnya bumi. Lalu siapa yang bisa mengatasi ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah tumbuhan. Mereka menggunakan gas CO2 sebagai bahan metabolisme agar dapat bertumbuh dan berkembang. Tumbuhan setidaknya menempati dua wilayah secara garis besar, yaitu terestrial (daratan) dan akuatik (perairan).
Menariknya lagi, dua jenis tumbuhan berdasarkan wilayah tersebut memiliki kemampuan berbeda dalam menyerap karbon. Faktanya, ekosistem pesisir memiliki kemampuan menyerap karbon yang lebih besar secara signifikan daripada ekosistem hutan terestrial. Karbon yang diserap oleh berbagai vegetasi tumbuhan akuatik tersebut biasa disebut dengan istilah blue carbon. Ini yang menyebabkan mengapa ekosistem pesisir memegang peran penting dalam memitigasi perubahan iklim!
Sekarang saya mulai tertarik dengan blue carbon ini!
Blue carbon (karbon biru) sendiri dapat didefinisikan sebagai simpanan karbon yang berada dalam ekosistem pesisir laut. Yang paling penting dari sekedar definisi diatas adalah peran ekosistem pesisir ini yang ternyata mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar, baik di dalam tanaman maupun di dalam sedimen. Studi menunjukkan penyimpanan karbon pada tanah bagian atas mencapai 280 mg C Ha-1 untuk mangrove, 250 mg C Ha-1 untuk rawa pesisir, dan 140 mg C Ha-1 untuk daerah lamun.
Oleh karena itu, upaya penekanan pemanasan global salah satunya difokuskan dengan program restorasi dan konservasi ekosistem pesisir. Rusaknya ekosistem ini tentu akan berpengaruh bagi kemaslahatan umat manusia selanjutnya.
Tapi, kabar buruknya…..
Ekosistem pesisir penghasil karbon biru merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam di dunia. Data menunjukkan sebesar 340.000-980.000 Ha ekosistem pesisir terdegradasi setiap tahunnya. Tutupan mangrove di seluruh dunia adalah yang paling besar kerusakannya, yaitu mencapai 67% dibanding dengan ekosistem pesisir lain. Jika laju ini tidak dicegah, ekosistem pesisir akan menjadi kontributor terbesar gas karbondioksida dalam perubahan iklim. Tak ayal jika apa yang dilakukan di Banyuwangi ini menuai banyak sikap penolakan dan protes bagi para pemerhati lingkungan. Bumi kita memang tidak sedang baik-baik saja.
Setidaknya kita tahu dan mulai cemas
Sampai disini, saya rasa anda mulai bisa sepakat dengan saya kalau emisi karbon memang bikin emosi! Boleh cemas, namun tidak perlu panik. Cukup dengan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dari hal sekecil apapun bisa sangat membantu merubah masa depan kita bersama. Kami di LindungiHutan akan membantu mewujudkan keinginan teman-teman dan mengajak anda dalam berpartisipasi secara nyata dalam menjaga lingkungan melalui program-program yang disediakan. Kunjungi website kami, Lindungihutan.com untuk info selengkapnya. Salam lestari!
Penulis : Okky Febriansyah
Referensi Tulisan
Hartriani, Jeany. 2017. Potensi Besar Laut Indonesia. Diakses melalui laman (https://katadata.co.id/infografik/2017/02/13/potensi-besar-laut-indonesia)
The Blue Carbon Initiative. 2019. Mitigating Climate Change Through Coastal Ecosystem Management.
Diakses melalui laman (https://www.thebluecarboninitiative.org/about-blue-carbon)
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2014 Contribution of Working Group III to the Fifth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press,
Cambridge, USA. Diakses melalui laman (https://www.ipcc.ch/report/ar5/wg3/)
LindungiHutan merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Dalam rangka mendukung kegiatan penghijauan teman-teman di Indonesia, yuk dukung Kampanye Alam daerahmu dengan berkunjung pada situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam.
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!