
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah menjadi fenomena tahunan yang terus menghantui Indonesia. Peristiwa ini adalah sebuah fakta bahwa sejak sekitar 1980-an hingga setidaknya akhir 2019, karhutla masih saja terjadi. Hal ini telah membawa Indonesia sebagai salah satu negara dengan penyumbang terbesar emisi GRK-nya dari sektor hutan dan lahan. Miris, bila dibandingkan fakta lain bahwa hutan dan lahan Indonesia termasuk yang terluas di dunia. Terlebih lagi, kecenderungan munculnya titik api adalah berasal are dengan karakteristik identik yang umumnya adalah lahan gambut yang berada di kawasan Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Ditinjau dari aspek tersebut, tentunya penanganan terkait harus lebih maksimal dan serius, tetapi faktanya, api masih saja muncul, membakar lahan dan merenggut tidak hanya ekosistem alami bahkan juga kehidupan manusia utamanya yang tinggal di kawasan terdampak.
Jika menilik lebih dalam, maka yang menjadi pertanyaan besar adalah apa yang sebenarnya memicu atau menjadi penyebab utama dari karhutla dan bagaimana mekanisme penanganannya yang tak kunjung usai.
Alih Fungsi Lahan Pemicu Karhutla
Kebakaran yang terjadi tentu sudah dan terus berpotensi memicu degradasi lahan dan hutan. Kecenderungan fakta kebakaran terjadi yang di lahan perkebunan utamanya sawit mengindikasikan bahwa alih fungsi lahan dan deforestasi berdampak sangat buruk terlebih untuk lahan gambut.
Merujuk pada data KLHK, dari 2015 hingga 2017 saja, total luas hutan Indonesia dari 128 juta hektar menyusut menjadi 125 juta hektar, tentu angka yang besar. Dalam hal ini, sawit menjadi perhatian utama. Total ada 14,3 juta hektar perkebunan sawit yang jauh lebih luas dibandingkan luas pulau Jawa yang hanya 12,8 juta hektar dan semuanya terbesar di Sumatera, Riau, Kalimantan, hingga Papua.

Total luas tanah gambut di Indonesia belum dapat dipastikan. Data terakhir, pada 2011, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah memperkirakan terdapat sekitar 14,9 juta hektar lahan gambut di Indonesia yang terdiri dari 6,4 juta hektar (43%) di Sumatera, 4,8 juta (32%) di Kalimantan, dan 3,7 juta hektar (25%) di Papua. Dan sejak era reformasi, fungsi lahan gambut marak diubah menjadi kebun sawit dan akasia. Di antara bulan Juni hingga September 2014, 4.000 hektar gambut hilang akibat banyaknya perizinan yang dikeluarkan untuk kebun kelapa sawit. Ini menandakan lemah dan rendahnya komitmen pemerintah serta pihak berwenang untuk mencegah proses alih fungsi lahan gambut secara berkelanjutan.
Alih fungsi lahan gambut seringkali dilakukan dengan pengeringan mendadak melalui cara dibakar, yang menjadi penyebab karhutla di Indonesia. Lahan gambut dianggap sebagai lahan yang kurang berguna dapat dikeringkan dan dialih fungsikan untuk komoditas yang lebih produktif. Anggapan ini telah menjadi salah satu pemicu degradasi dan kerusakan lahan gambut melalui perubahan tata guna lahan perkebunan.
Perlu diketahui bahwa lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton cadangan karbon dan ini dapat terlepas ke udara bila dilakukan pengeringan atau alih fungsi lahan gambut secara tidak tepat dan masif. Padahal, lahan gambut menyimpan sekitar 30% total karbon dunia dan gambut yang kering akan mudah terbakar.
Gambut yang sudah terbakar cenderung akan sulit dipadamkan. Lahan gambut yang terdiri dari ranting, rumput, dan sisa-sisa pohon atau vegetasi terdahulu akan memicu api dapat menyebar hingga kedalaman 4 meter. Inilah yang sering terjadi, api di permukaan lahan mungkin sudah padam tetapi bukan berarti api di lapisan dalam juga padam. Api yang mengendap di lapisan dalam dapat bertahan lama hingga berbulan-bulan, bahkan menjalar ke tempat lain. Inilah mengapa kebakaran lahan gambut dapat berpotensi menjadi masalah besar. Jika Indonesia terus melakukan kegiatan pemanfaatan lahan gambut menjadi lahan budidaya maka lahan gambut akan menyumbang emisi sebesar 40%. Dari sisi ini, sudah tentu pemerintah harus menciptakan sistem penanganan atau kebijakan yang lebih mengikat dan serius yang melibatkan peran aktif pemegang kepentingan untuk secara konsisten memelihara serta menjaga lahan gambut. Akan tetapi, apakah yang terjadi sehingga api masih saja menghantui?
Penanganan oleh Pemerintah
Diakui oleh KLHK, pada 2019, bahwa karhutla paling besar disebabkan oleh ulah korporasi. Meskipun mereka menolak untuk menyebutkan rincian data, tercatat ada 9 perusahaan yang terdapat di Riau, Jambi, Sumsel, Kalteng, Kalbar, dan Kalsel yang menjadi tersangka di mana semuanya berafiliasi dengan sawit.
Para korporasi yang melakukan pembakaran sudah tentu harus mempertanggungjawabkan tindakannya, mungkin bahkan harus dicabut izin usahanya. Dalam menindaklanjuti proses hukum terkait pelaku pembakaran lahan, terdapat sisi yang tidak kalah penting untuk ditinjau. Proses pemberian izin atau kuasa usaha tentu juga harus ditinjau. Terkait birokrasi, Kementerian ATR/BPN berwenang dalam kepengurusan dan pemberian HGU, lalu KLHK berperan dalam memberikan HTI, hingga Kementerian Pertanian akan mengeluarkan izin perkebunan. Secara mudahnya, sudah tentu, ketiga kementerian tersebut juga bertanggung jawab terhadap proses perizinan untuk alih fungsi lahan.
Bila pemerintah benar-benar berkomitmen untuk mencegah dan menghentikan fenomena karhutla, maka seharusnya dievaluasi kebijakan terkait agar lebih tegas terhadap aturan perizinan pemanfaatan lahan utamanya sawit di lahan gambut. Hal ini menjadi mendesak karena selain mengingat intensitas dan frekuensi karhutla, juga untuk lebih mengutamakan keselamatan ekosistem dan masyarakat. Sudah terbukti bahwa asap dari karhutla dapat menyebabkan penyakit pernapasan. selain itu, juga untuk mendukung kelestarian hutan dan mengatasi permasalahan ekologi lainnya.
Terlebih lagi, masih menjadi problematika bahwa data terkait kerusakan lingkungan cukup sulit untuk diakses secara publik, baik terkait tingkat kerusakan, potensi, penanganan, maupun pihak-pihak atau pelaku pembakaran lahan. Umumnya, sumber yang diperoleh hanya dari cuplikan wawancara atau berita saja, walaupun beragam website diluncurkan, detail informasi yang diberikan masih kurang. Ini membuat kondisi menjadi kurang transparan padahal dampak yang dirasakan tidak memilih dan memihak siapapun. Sudah sepatutnya pemerintah beserta jajarannya membenahi sistem dan kebijakan terkait dengan lebih tegas dan serius demi kepentingan bersama rakyat dan ekosistem berharga di Indonesia.
REFERENSI
Pantau Gambut, 2017, Luas dan sebaran lahan gambut di Indonesia, Online: https://pantaugambut.id/pelajari/apa-itu-gambut/luas-dan-sebaran-lahan-gambut-di-indonesia.
Pantau Gambut, 2017, Lahan gambut menjaga perubahan iklim, Online: https://pantaugambut.id/pelajari/peran-penting-lahan-gambut/lahan-gambut-menjaga-perubahan-iklim.
Sigit, R., 2019, Menyibak Problem Kebakaran Hutan dan Lahan yang Tak Kunjung Usia, Online: https://www.mongabay.co.id/2019/10/26/menyibak-problem-kebakaran-hutan-dan-lahan-di-indonesia-yang-tak-pernah-usai/
Penulis: Jefri Laksana Putra
Dikurasi oleh: Citra Isswandari Putri
Lindungihutan.com merupakan Platfrom Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya yang dapat merugikan pihak!
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!