Keragaman flora merupakan salah satu dari banyak kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Kondisi iklim dan tanah yang memadai membuat banyak jenis tumbuhan dapat tumbuh dan dibudidaya di Indonesia. Kayu wangi Cendana merupakan satu dari banyak jenis flora endemik yang dimiliki Indonesia. Manfaat kayu wangi jenis ini yang beragam membuat cendana memiliki nilai jual yang tinggi di pasaran. Ingin tahu lebih dalam mengenai flora endemik asal Nusa Tenggara Timur ini? Yuk, simak ulasannya!

Botani dan Ekologi Cendana
Cendana atau Santalum album merupakan tanaman yang berasal dari famili Santalaceae. Tanaman yang termasuk jenis kayu wangi ini juga dikategorikan sebagai tanaman parasit. Ketika memasuki fase perkecambahan hingga semai, cendana membutuhkan tanaman inang untuk tetap bisa tumbuh. Cendana memiliki daun tunggal dan berukuran kecil. Hal tersebut yang membuat tajuk tanaman kayu wangi ini terlihat kurang rindang. Cendana memiliki bunga yang tumbuh sepanjang tahun, dengan tipe perbungaan payung menggarpu (infloresence) atau malai (panicle). Buah pada cendana merupakan buah batu (drupe), berbentuk jorong (ellipsoid), berukuran kecil, dan berwarna merah kehitam-hitaman. Biji dari cendana dapat cepat berkecambah dengan dukungan dari tanaman inang. Tanaman cendana sering ditemukan dalam bentuk pohon. Meskipun terkadang, tak jarang tanaman kayu wangi ini juga ditemukan dalam bentuk semak belukar1.
Cendana merupakan tanaman yang hidup di daerah yang kering. Lahan yang terlalu basah, atau bahkan tergenang air, sangat mempengaruhi hidup dari cendana yang masih kecil. Kebutuhan yang tinggi akan sinar matahari membuat cendana memilih habitat dengan musim kemarau yang lama. Cendana dengan kualitas kayu yang baik merupakan cendana yang tumbuh di hutan terbuka, memiliki tanah yang kering dan berbatu, dan berada di ketinggian 600-900 mdpl. Tanah yang mengandung banyak natrium sangat membantu pertumbuhan dari cendana, dibandingkan dengan tanah berkapur dan memiliki kadar garam yang tinggi1.
Persebaran Cendana dan Sejarah Panjangnya
Tanaman cendana memiliki 25 jenis dan tersebar mulai dari Malesia bagian Timur, Australia, hingga Polinesia bagian Timur. Di Indonesia sendiri, kayu cendana banyak tumbuh di Kepulauan Busur Luar Banda, khususnya di Pulau Timor dan Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Meskipun demikian, tanaman cendana sudah banyak dibawa ke berbagai daerah dan dibudidaya, mulai dari Jawa hingga Sulawesi. Cendana bahkan sampai didatangkan ke India, ditanam di lokasi yang serupa dengan Nusa Tenggara Timur, dan diperdagangkan di sana1.
Riwayat cendana di dalam perdagangan dunia telah melalui masa yang panjang. Banyak negara telah melakukan perdagangan cendana hingga Indonesia sejak abad ke-3 masehi. Tiongkok merupakan negara pertama yang tercatat melakukan perdagangan cendana hingga ke Pulau Timor. Perdagangan pertama tersebut terjadi di masa pemerintahan Dinasti Yuan sekitar abad ke-12 dan ke-13 masehi. Permintaan pasar yang tinggi membuat cendana banyak dieksploitasi dan semakin menipis keberadaannya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 masehi1.

Kayu Wangi dengan Nilai Jual Tinggi
Banyaknya negara yang ingin menguasai pasar dari cendana menunjukkan kebermanfaatan dari kayu tersebut. Hal itu pula yang membuat kayu cendana masuk ke dalam daftar kayu dengan harga yang mahal di pasaran. Kayu dengan nama komersial sandalwood ini banyak dijual dalam bentuk kayu ataupun minyak. Kayu cendana banyak dijual per kilogram dengan harga Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta untuk kayu biasa dan Rp 25 juta untuk kayu gubal. Sedangkan untuk minyak atsiri dari cendana yang sudah dikemas dengan ukuran 6 ml banyak dijual dengan harga Rp 150 ribu hinggan Rp 250 ribu.
Mahalnya harga dari cendana bukanlah tanpa alasan. Kayu dan minyak dari cendana memang sudah dipergunakan sejak 4000 tahun yang lalu. Mulai dari pelengkap ritual keagamaan, obat, parfum, hingga produk olahan kayu, menggunakan cendana sebagai bahan baku utamanya. Penggunaan cendana sebagai pelengkap ritual keagamaan banyak diterapkan oleh beberapa kebudayaan, mulai dari Sansekerta, Cina, Mesir Kuno, hingga Buddhisme. Di dalam manuskrip kuno Sansekerta dan Cina, cendana merupakan barang suci yang digunakan dalam ritual keagamaan. Dalam kebudayaan Mesir Kuno, cendana dimanfaatkan untuk pembalseman mumi dan media untuk bisa mencapai Tuhan dalam setiap peribadatan. Umat Buddha menggunakan cendana pada setiap upacara kematian untuk menenangkan jiwa yang sedang dilanda kesedihan2.
Di dalam dunia pengobatan tradisional, cendana banyak dimanfaatkan sebagai obat dari beberapa jenis penyakit. Aroma wangi dari cendana banyak dimanfaatakan untuk menyembuhkan sakit perut dan nausea. Pasta dari cendana juga dipercaya dapat menyembuhkan sakit kepala dengan cara membalutkannya ke bagian yang sakit. Cendana bahkan digunakan sebagai campuran rokok untuk menyembuhkan penyakit asma. Meskipun demikian, bangsa Eropa baru menggunakan cendana sebagai obat setelah tahun 1920-an. Sebelumnya, orang Eropa lebih banyak menggunakan cendana sebagai wewangian atau bahan baku parfum kelas utama2. Harganya yang mahal membuat kayu cendana jarang diolah menjadi mebel atau produk olahan kayu lainnya yang berukuran besar. Cendana lebih banyak dimanfaatkan untuk pernak-pernik seperti kipas, tasbih, rosario, hingga patung3.
Keberadaan Kayu Wangi yang Mulai Langka

Meskipun menjadi habitat asli dari cendana, Nusa Tenggara Timur rupanya tidak lagi memiliki daerah yang menjadi kantong alami dari tempat tumbuhnya cendana. Eksploitasi yang berlebihan, ditambah dengan peraturan daerah yang tidak mendukung upaya konservasi, membuat populasi cendana di daerah asalnya menjadi kian menipis. Menurut Yeni Wisyana Nurchayani, S.Hut., M.Sc., dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2010, jumlah cendana di Nusa Tenggara Timur telah mengalami reduksi hingga hampir 100 persen sejak tahun 2000. Tidak hanya ancaman kepunahan, cendana juga terus mengalami penurunan dalam hal keragaman genetik.
Peraturan yang tidak mendukung upaya konservasi sepertinya menjadi masalah utama tidak berkembangnya upaya budidaya cendana di masa sekarang. Adanya peraturan daerah yang menjadikan cendana sebagai tanaman milik pemerintah membuat banyak masyarakat tidak peduli terhadap keberadaan cendana. Masyarakat hanya mendapatkan presentase hasil yang sedikit dari setiap cendana yang dijual kepada pemerintah. Sebagai contoh di dalam Perda NTT Nomor 11 Tahun 1966, rakyat hanya mendapatkan 50 persen hasil penjualan cendana yang diambil dari tanah milik warga. Bahkan di dalam Perda Nomor 16 Tahun 1986, rakyat hanya mendapatkan presentase sebesar 15 persen. Hal tersebut yang membuat masyarakat enggan merawat cendana dan membuat keberadaannya semakin terancam.
Keberadaan cendana yang kian menipis di daerah asalnya, merupakan bukti bahwa kita belum bisa menjaga harta berharga yang kita miliki. Upaya konservasi perlu dilakukan supaya cendana dapat tetap lestari dan memberikan penghidupan bagi banyak orang. Diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, untuk bisa tetap menjaga cendana hingga generasi anak-cucu kita nanti.
Penulis : Tatag Suryo Pambudi
Dikurasi Oleh: Daning Krisdianti
Referensi :
1Riswan, S. 2001. Kajian Botani, Ekologi, dan Penyebaran Pohon Cendana (Santalum album L.). Berita Biologi. 5(5) : 571-574.
2Agusta, A., dan Jamal, Y. 2001. Fitokimia dan Farmakologi Cendana (Santalum album L.). Berita Biologi. 5(5) : 561-569.
3Darmokusumo, S., dan Nugroho, A.A. 2001. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomis Cendana di Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi. 2001. Berita Biologi. 5(5) : 509-514.
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya abrasi yang dapat merugikan banyak pihak!
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!