Berbicara mengenai spesies yang menjadi ikon atau maskot dari Provinsi Banten, mungkin kalian akan membayangkan seekor badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Namun, ternyata ada spesies lain yang menjadi maskot dari provinsi terbaru dan paling barat Pulau Jawa ini yang hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon. Spesies ini bukan berasal dari kerajaan animalia seperti badak jawa, namun sebuah spesies dari kerajaan plantae, yaitu kokoleceran. Tumbuhan ini merupakan endemik khas dari wilayah Banten, sehingga wajar nama Banten disematkan pada nama ilmiah tanaman in: Vatica bantamensis. Karena wilayah tumbuh dari kokoleceran ini sangat terbatas, populasi tumbuhan ini pun sampai sekarang masih misterius dan tidak diketahui dengan pasti. Kokoleceran pun dikatakan sebagai “Endangered” (terancam punah) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak 1998. Tentunya akan sangat disayangkan apabila tanaman langka ini jika sampai punah. Lantas, bagaimana sih bentuk dari tumbuhan kokoleceran ini?
Mengenal Kokoleceran
Kokoleceran (Vatica bantamensis) atau nama lokalnya resak banten, merupakan tanaman endemik Banten yang hanya hidup di Semenanjung Ujung Kulon seperti yang disebutkan oleh Tony Whitten et.al (1996) dalam bukunya yang berjudul The Ecology of Indonesia Series, Volume II: The Ecology of Java and Bali . Sehingga Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 522.53-958 Tahun 2010 tentang Penetapan Flora dan Fauna Identitas Daerah Provinsi, menyatakan bahwa kokoleceran ditetapkan sebagai flora khas yang menjadi identitas/maskot Provinsi Banten (BLHD, 2014). Sayangnya, memang hanya sedikit orang yang mengenal tumbuhan ini lantaran tempat tumbuhnya yang berada di dalam Hutan Taman Nasional Ujung Kulon membuat tidak banyak orang yang menyadari keberadaannya.
Kokoleceran merupakan pohon yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi sekitar 30 meter dengan bagian batang yang muda memiliki bulu–bulu halus dan lebat. Daun kokoleceran sendiri berbentuk menjorong atau melanset, agak tebal dan berkilau, serta dengan tangkai daun yang panjangnya mencapai 2,2 cm. Bunganya berbentuk malai dengan panjang mencapai 7 cm dan muncul di ujung daun atau di ketiak daun. Buahnya agak bulat dan mempunyai tangkai yang pendek sekitar 5 mm panjangnya serta memiliki lima sayap yang terdiri atas dua sayap panjang dan tiga sayap pendek. Dengan biji buahnya berdiameter sekitar 10 mm dengan bentuk yang agak bulat.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 1998 pun menyatakan status konservasi kokoleceran sebagai tanaman yang terancam punah. Penetapan ini juga didukung dengan hasil studi oleh Dodo Wihermanto et.al (2015) yang menunjukkan jika kokoleceran memiliki populasi yang tergolong kecil, membuat spesies ini sangat rentan kepunahan. Selain itu, pemanfaatan kokoleceran oleh masyarakat lokal juga masih sangat minim, lantaran keberadaannya belum tersebar luas dan diketahui masyarakat secara umum. Padahal kayu kokoleceran diperkirakan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan bahan pembuat kapal seperti dari genus yang pada umumnya, salah satunya yaitu resak hiru (Vatica rassak).
Wilayah Hidup Kokoleceran
Kokoleceran hidup di wilayah pegunungan dan lereng dengan rata-rata ketinggian di atas 400 mdpl. Lokasi dengan tutupan tajuk lebat dan tanah asam tersebut merupakan habitat yang baik untuk pohon ini. Sehingga lokasi tumbuh dari kokoleceran hingga saat ini hanya diketahui di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Khususnya pada wilayah hutan dataran rendah di lereng-lereng bukit atau gunung. Meskipun dari hasil survei ditemukan bahwa tidak ditemukan ancaman langsung terhadap populasi kokoleceran akibat aktivitas manusia, namun keberadaan pohon langkap invasif (Arenga obtusifolia, Arecaceae) teridentifikasi sebagai ancaman utama bagi kelangsungan hidup kokoleceran membuat pohon endemik Banten ini termasuk dalam daftar merah IUCN dengan status konservasi critically endangered atau kritis.

Untuk mengembangkan upaya konservasi yang efektif bagi kokoleceran sebagai tumbuhan yang terancam punah, informasi terkini tentang status populasi dan distribusi spesies tentunya diperlukan. Iyan Robiansyah dan kawan-kawan, dari Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor sempat mencoba untuk meneliti status populasi pohon endemik kokoleceran (Vatica bantamensis) di Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian yang dilakukan di kawasan Hutan Taman Nasional Ujung Kulon pada September 2010 dengan metode systematic parallel lines menunjukkan, bahwa kokoleceran diperkirakan memiliki luas hunian dan luasnya 8 km2 dan ditemukan hidup di Jalur Ciuluran Sang Hyang Sirah, serta Lereng Timur dan Barat Gunung Payung pada ketinggian 368-488 mdpl.
Upaya Budidaya Kokoleceran
Berdasarkan data dari IUCN, sejak tahun 1998 sejatinya belum banyak penelitian lebih lanjut yang fokus terhadap tanaman kokoleceran. Melihat statusnya yang terancam punah, maka semestinya perlu adanya upaya pembudidayaan untuk memperbanyak keberadaan tumbuhan ini agar tidak punah. Menurut Ashton (1996) sampai saat ini teknik budidaya tanaman kokoleceran yang diketahui hanya dengan budidaya yang dilakukan secara generatif yaitu menggunakan biji, sedangkan teknik budidaya menggunakan biji ini umumnya memerlukan waktu yang cukup lama. Sehingga para peneliti mencoba untuk mengalihkan pandangan pada teknik budidaya lain yang mungkin dilakukan seperti perbanyakan secara in vitro.
Perbanyakan secara in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasikan bagian dari tanaman seperti protoplas, sel, jaringan, dan organ yang kemudian menumbuhkannya dalam kondisi aseptik. Sehingga bagian-bagian dari tumbuhan tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tumbuhan lengkap kembali (Sandra, 2013). Metode in vitro ini pun sempat dicoba oleh tim peneliti dari Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dengan meneliti inisiasi tunas kokoleceran pada berbagai jenis media tanam serta konsentrasi zat BAP (benzyl aminopurine) secara in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan media tanam yang diujikan belum mampu menunjukkan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan eksplan pada semua parameter. Selain itu, perlu dicari kondisi terbaik bagi pertumbuhan tunas dan akar eksplan kokoleceran, antara lain penggunaan jenis, konsentrasi, serta keseimbangan zat pengatur tumbuh yang tepat untuk memperoleh hasil optimal. Perlu penelitian lanjutan dengan menggunakan berbagai jenis eksplan mengingat pertumbuhan kokoleceran dari eksplan tunas pucuk sangat lambat, sehingga membutuhkan waktu relatif lama untuk menumbuhkan tunas.
Alternatif Konservasi Kokoleceran
Lokasi hidup dari kokoleceran yang berada dalam kawasan konservasi seharusnya sudah mampu mempertahankan keberadaannya sebagai pohon endemik. Namun, tetap saja masih perlu adanya sosialisasi dengan penyadaran pembangunan sikap dan perilaku konservasi bagi masyarakat setempat, memperkuat status hukum, dan menaikkan status cagar alam menjadi cagar biosfer agar keberadaan resak tetap lestari (KLHK, 2008). Iyan et.al (2018) sendiri merumuskan empat alternatif langkah yang bisa diambil untuk upaya konservasi kokoleceran:
- Menjaga tingkat perlindungan UKNP, khususnya kawasan Hutan Gunung Payung yang merupakan tempat habitat kokoleceran;
- Mengurangi dampak langkap sebagai ancaman utama bagi spesies tersebut;
- Menciptakan populasi baru kokoleceran di kawasan lain taman melalui program reintroduksi, dan;
- Mengembangkan konservasi ex-situ spesies melalui bank benih dan koleksi hidup di kebun raya dan kawasan konservasi ex-situ lainnya.
Perlindungan habitat kokoleceran di Gunung Payung dinilai memadai karena tidak ditemukan ancaman antropogenik selama survei. Untuk mempertahankan situasi yang diinginkan, diperlukan patroli rutin oleh petugas Taman Nasional. Untuk pengelolaan pengendalian langkap, pengelola Taman Nasional sebenarnya telah melakukan pengendalian sebaran spesies ini untuk memulihkan habitat dan tempat makan badak jawa.

Sedangkan reintroduksi kokoleceran telah dilakukan oleh Kebun Raya Bogor di wilayah studi dan konservasi badak jawa pada tahun 2014. Namun, selama pemantauan yang dilakukan pada tahun 2017, tidak ada hasil transplantasi yang dapat ditemukan (Robiansyah dan Dodo 2018). Robiansyah dan Dodo (2018) sendiri mengemukakan bahwa untuk keberhasilan upaya reintroduksi perlu mempertimbangkan proses pemilihan lokasi yang ketat dan keterlibatan masyarakat setempat.
Mengenai konservasi kokoleceran ex-situ, saat ini terdapat empat koleksi kokoleceran hidup di Kebun Raya Bogor, sedangkan benihnya belum terkumpul di bank benih Kebun Raya Bogor dan bank benih lainnya di Indonesia. Dengan demikian pengumpulan benih dan bibit kokoleceran lebih lanjut diperlukan untuk menambah jumlah benih dan koleksi hidup di BBG dan lokasi konservasi ex-situ lainnya. Upaya budidaya dengan berbagai metode seperti kultur jaringan, reintroduksi perlu terus diupayakan. Tentunya hal ini agar kokoleceran sebagai maskot Provinsi Banten dapat tetap hidup dan eksis sampai masa yang akan datang (Sudiyanti, 2017).
Penulis: Farijzal Arrafisena
Referensi Literatur:
Ashton PS. 1969. Speciation among tropical forest trees: some deductions in the light of recent evidence. Biol J Linn Soc 1:155-196.
BLHD. 2014. Blhd.bantenprov.go.id. Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan SDA http://blhd.bantenprov.go.id/ (diakses pada 23 Maret 2021)
Dodo, Wihermanto dkk. 2014. Autekologi Kokoleceran (Vatica bantamensis (Hassk.) Benth. & Hook.ex Miq.) di Taman Nasional Ujung Kulon.
http://lipi.go.id/publikasi/papan-serat-sisal-dengan-perekat-ramah-lingkungan/6831 (diakses pada 23 Maret 2021)
Hamidi, Arief & Robiansyah, Iyan. 2018. Dipterocarpus littoralis. The Iucn Red List Of Threatened Species™
KLHK. 2008. Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam – Departemen Kehutanan RI.
Robiansyah, I. 2018. Vatica bantamensis. The IUCN Red List of Threatened Species. http://dx.doi.org/10.2305//IUCN.UK.2018-1.RLTS.T31319A125626167.en
Robiansyah I, Davy AJ. 2015. Population Status and Habitat Preferences of Critically Endangered Dipterocarpus littoralisin West Nusakambangan, Indonesia. Makara J Sci 19(4):150-160.
Sudiyanti, S., Rusbana, T., & Susiyanti, S. 2017. Bud Initiation of Kokoleceran (Vatica bantamensis) on Various Media and Concentration of BAP (Benzyl Amino Purine) in Vitro. Jurnal Agro 4 (1), 1-14.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, S.A. Afiff. 1996. The Ecology of Indonesia Series Volume II: The Ecology of Java and Bali. Periplus Editions (Hk) Ltd.
Referensi Gambar:
- https://inibaru.id/indo-hayati/kokoleceran-maskot-banten-yang-terancam-punah
- https://smujo.id/biodiv/article/view/3440/2732
- https://indonesiatraveler.id/berburu-keindahan-di-gunung-honje-ujung-kulon/
- https://www.researchgate.net/figure/Gambar-3-Penampilan-dan-warna-dari-eksplan-kokoleceran-pada-berbagai-media-perlakuan_fig1_322230386
- https://smujo.id/biodiv/article/view/3440/2732
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di berbagai daerah. Mari kita sama-sama melestarikan lingkungan dan menjaganya.
Yuk, bergabung bersama kami sebagai pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!