Limbah medis covid 19 mengalami peningkatan setiap hari. mirisnya limbah tersebut ditemukan bersama limbah non medis. Limbah medis termasuk dalam limbah yang berbahaya sehingga memerlukan penanganan khusus untuk mengolahnya agar tidak membahayakan bagi kehidupan. Berikut tim wanaswara rangkumkan mengapa limbah medis perlu di pisahkan.

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah berlangsung lebih dari setahun. Sejak awal kemunculannya di Indonesia hingga sekarang, masker sekali pakai menjadi barang yang banyak dibeli manusia. Fungsinya memang sangat krusial untuk mencegah penularan virus covid-19. Selama pandemi, produksi limbah medis meningkat secara signifikan. Hal ini menyebabkan makin banyaknya sampah yang berasal dari rumah maupun fasilitas pelayanan kesehatan. Di saat masalah timbunan sampah semakin besar, Indonesia juga mesti berhadapan dengan tumpukan sampah masker sekali pakai yang termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3).
Di tengah kepungan krisis iklim yang kian merusak ekosistem bumi, penanganan permasalahan lingkungan di Indonesia masih terasa stagnan (berhenti). Ditandai dengan bencana alam yang terus menerpa, hutan yang kehilangan 10 juta hektar setiap tahun, peningkatan emisi yang semakin tinggi, serta produsen industri yang tidak kunjung berbenah untuk mengurangi sampah plastik. Ditambah lagi dengan Pemerintah Indonesia yang belum cukup tegas dalam mengeluarkan kebijakan untuk memerangi masalah lingkungan.
Limbah Medis Covid 19
Seluruh dunia masih menghadapi krisis kesehatan akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Krisis kesehatan seharusnya menyadarkan manusia untuk mengubah pola hidup konsumtif ke pola hidup ramah lingkungan. Namun, pandemi justru menghadirkan permasalahan baru yang semakin memberatkan lingkungan hidup dengan sampah plastik dan sampah medis yang kian menumpuk.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Oceans Asia, sepanjang 2020 diperkirakan ada 52 miliar masker sekali pakai yang diproduksi oleh semua negara. Tidak semua sampah medis yang diproduksi mampu dikelola dengan baik. Sejak pandemi Covid-19 dimulai, manusia menghasilkan 129 miliar sampah masker dan 65 miliar sarung tangan sekali pakai. Sebagian besar masker dan sarung tangan tersebut tidak dibuang dengan benar dan berakhir di laut. Alhasil, sampah masker sekali pakai telah mencemari lingkungan.
Limbah medis covid 19 berupa bekas alat pelindung diri (APD), jarum suntik, masker, sarung tangan medis, dan lain-lain ditemukan di beberapa tempat bercampur dengan sampah non medis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, terhitung sampai 14 Desember 2020, volume limbah hasil Covid-19 berjumlah sekitar 1.986,86 ton. Sedangkan sebelum pandemi, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, terdapat 296 ton limbah medis per hari dari 2.852 rumah sakit, 9.099 puskesmas, dan 8.841 klinik. Limbah medis covid 19 yang lepas ke lingkungan sebagian besar bermuara ke lautan. Hal ini membuat Indonesia semakin jauh dari targetnya, yaitu bisa membebaskan wilayah lautnya dari sampah plastik minimal 70% pada tahun 2025. Target tersebut ditetapkan Pemerintah Indonesia bersama dengan target jangka panjang, yaitu pada tahun 2040 Indonesia sudah terbebas penuh dari sampah plastik.
Seiring dengan target tersebut berjalan, masalah baru yang lebih rumit pun muncul dan berimbas pada rencana penanganan sampah plastik di laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan penelitian terbaru tentang sampah, khususnya sampah plastik, selama pandemi berlangsung. Hasilnya, ada peningkatan signifikan sampah plastik yang didominasi oleh sampah medis. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi tujuh tipe dan 19 kategori sampah yang ditemukan pada Sungai Marunda dan Cilincing yang ada di Jakarta Utara. Dari kedua sungai tersebut, diketahui bahwa sampah medis yang mengalir berakhir di Teluk Jakarta yang berlokasi di Laut Jawa. Jenis-jenis sampah medis tersebut berupa alat pelindung diri (APD), masker medis, sarung tangan, pelindung wajah, dan jas hujan. Jumlah sampah meningkat sebesar lima persen, tetapi mengalami penurunan berat sebesar 23-28 persen. Bahkan, sampah plastik yang ada di kedua sungai tersebut mendominasi hingga 46-57 persen dari total sampah yang ditemukan.
Terjadinya peningkatan jumlah limbah medis covid 19 di Indonesia mengindikasikan besarnya perubahan komposisi sampah yang muncul selama pandemi berlangsung. Dengan demikian, sampah plastik yang memiliki massa lebih ringan menjadi produksi sampah yang paling cepat meningkat selama pandemi. Hal ini menegaskan bahwa ancaman pencemaran lingkungan akan semakin tinggi setelah pandemi Covid-19 berlangsung di Indonesia.

Tantangan
Selain limbah medis, limbah nonmedis juga sangat besar. Pada tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat 67,8 ton timbulan sampah di Indonesia. Pengelolaan sampah masih di bawah 50% dari target 100% pada tahun 2025. Pengelolaan sampah yang kurang baik bukan hanya akan mencemari lingkungan, tetapi juga dapat mengancam para petugas pembersihan sampah dan pemulung. Dampak lain yang juga lebih berbahaya adalah di Indonesia tidak banyak fasilitas layanan kesehatan yang memiliki sistem pengolahan limbah medis yang baik. Pun jika punya, pengolahan dengan insinerator dapat menghasilkan polutan berbahaya. Pencemaran limbah medis tidak hanya berbahaya dari segi infeksius saja. Lama-kelamaan, limbah medis akan menjadi tumpukan sampah plastik yang jelas mencemari lingkungan hidup dan kesehatan.
Pengaturan limbah medis tertuang di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P-56/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Peraturan ini mewajibkan sampah medis dikelompokkan dalam empat kantong berwarna: merah, kuning, ungu, dan coklat. Pada praktiknya, rumah sakit kerap kali mencampurkan menjadi satu kantong warna kuning. Tidak hanya dipilah, limbah B3 sebenarnya harus diolah secara termal dengan mengandalkan peralatan autoklaf, gelombang mikro, iradiasi frekuensi audio, atau insinerator. Namun, tidak semua rumah sakit memiliki teknologi-teknologi itu dan harus menyerahkan pada pengolah limbah B3 yang memiliki izin KLHK.
Pengelolaan limbah medis di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan, jumlah limbah yang tercatat hampir 295 ton per hari. Kapasitas pengolahan swasta dari 10 perusahaan dominan di Jawa sekitar 171 ton per hari. Sementara yang bisa diolah 63 insinerator layanan kesehatan berizin hanya 53 ton per hari. Ada selisih yang tidak bisa terolah sekitar 70 ton per hari. Komposisi limbah dari fasilitas kesehatan global berdasarkan catatan Health Care Without Harm didominasi sampah umum 56%, kemudian limbah medis 18%, kardus 11%, sampah pasien 9%, B3 sebesar 2%, dan lain-lainnya. Kesenjangan inilah yang memicu banyak masalah baru terus bertebaran.
Limbah medis menghasilkan abu yang mengandung kimia berbahaya dan beracun serta tidak bisa dilihat, menyebabkan emisi semakin dekat kepada manusia. Kondisi tersebut menjadi lebih rumit lagi jika tidak ada pengukuran emisi secara berkala untuk parameter dioksin. Persistent Organic Pollutans (POPs) atau polutan abadi paling berbahaya dan harus dihapuskan adalah yang berhubungan dengan insinerator dan limbah medis. Hal ini dikarenakan POPs akan menghasilkan dioksin dan furan, bahan beracun berbentuk kristal putih yang dihasilkan saat terjadi pembakaran dari insinerator, kebakaran hutan, daur ulang, PLTU, pabrik, dan lainnya.
Jumlah rumah sakit dengan insinerator berizin di Indonesia hanya 113 insinerator. Paling banyak di Jawa Timur. Salah satu sebabnya adalah proses perizinan yang rumit. Masalah lain dalam pendirian insinerator antara lain lokasi insinerator rumah sakit yang berimpitan dengan pemukiman warga sehingga diprotes dan biaya operasionalnya yang tinggi. Terdapat pula insinerator yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis, yaitu seperti cerobong yang terlalu pendek dan abu yang beterbangan.
Sampah masker sekali pakai yang tergolong dalam kategori limbah medis memiliki bahan kimia bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan penyakit kanker, bahan aditif tahan air, hingga UV Stabilizer. Seluruh bahan-bahan tersebut akan sangat berbahaya jika terpapar ke lingkungan, sebab akan menjadi sampah yang awet di lingkungan dan lama terurai. Limbah medis yang kian meningkat haruslah diimbangi dengan pengelolaan yang layak. Tanpa pengelolaan yang baik, manusia akan semakin dekat ke berbagai sumber penyakit. Ditambah lagi peningkatan emisi yang akan terus memperburuk kondisi ekosistem bumi.

Ayo Berbenah!
Masalah masker sekali pakai pada akhirnya akan menjadi bom waktu yang siap meledak. Untuk mengurangi polusi akibat masker sekali pakai, diperkirakan akan membutuhkan waktu yang lama agar masker dapat terurai. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa kandungan mikroplastik yang terkandung pada bahan masker sekali pakai akan bisa hilang. Polusi yang dihasilkan dari masker sekali pakai sangatlah mengkhawatirkan. Saat ini, fenomena penumpukan sampah plastik di laut telah membunuh setidaknya 100 ribu mamalia laut dan penyu serta lebih dari jutaan burung laut dan ikan.
Kita mesti beralih ke pola hidup yang ramah lingkungan dengan cara mengurangi konsumsi plastik dan penggunaan masker sekali pakai. Solusi yang paling mudah diterapkan yaitu mengganti masker sekali pakai dengan masker kain yang layak. Hal yang perlu diperhatikan jika masker sehabis terkena bekas infeksius harus didisinfeksi terlebih dahulu, demikian juga bekas jarum suntik. Namun, itu saja belum cukup untuk memperbaiki ekosistem lingkungan hidup, perlu semua pihak ikut terlibat. Para produsen komersil harus bertanggung jawab dengan sampah plastik yang diproduksi serta mengurangi penggunaan plastik dalam setiap produk. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun peta kerja sama antara produsen, bank sampah, TPS 3R, atau badan usaha berizin. Hal tersebut akan memudahkan proses daur ulang sehingga terciptanya produk bermanfaat lain.
Peningkatan kapasitas pengolahan limbah medis haruslah disegerakan. Diperlukan ketersediaan laboratorium dioksin untuk memantau senyawa dalam abu dan emisi hasil pembakaran limbah medis. Pasalnya, hingga kini belum ada laboratorium yang berkapasitas untuk menghitung dioksin di Indonesia. Pengurangan limbah yang masuk ke insinerator dapat juga dilakukan dengan cara disinfeksi limbah medis, seperti disinfeksi temperatur atau kimiawi. Selain itu, dapat pula dilakukan pemusnahan jarum suntik dengan alat needle crusher, lalu ditambahkan zat agar tidak berkarat. Jadi, sampah medis tidak perlu melulu dibakar dengan insinerator. Terdapat juga tiga opsi pengolahan limbah medis, yakni insinerator, autoklaf, dan gelombang mikro. Sebagian besar penggunaan insinerator harus sesuai peraturan. Di beberapa negara yang sudah menggunakan autoklaf, sebagian limbah medis bisa didaur ulang. Organnya pun bisa dicacah, disterilkan, dan masuk biodigester.
Penanganan limbah medis harusnya tidak terhambat dengan aspek jarak dan biaya pengelolaan. Seharusnya, Indonesia dapat menerapkan prinsip pengelolaan limbah dekat dengan sumber. Pemerintah Indonesia juga perlu memberikan keringanan pinjaman kepada rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk membeli alat atau teknologi pengolah limbah medis. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pengelolaan oleh pihak ketiga yang terkadang malah menimbulkan masalah baru. Peningkatan jumlah sampah masker sekali pakai, disertai dengan pengelolaan yang kurang baik, dapat memperkeruh penumpukan sampah plastik di Indonesia. Sebab, 99% plastik dibuat dari bahan bakar fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara. Yang berarti plastik tidak hanya memenuhi Tempat Pembuangan Akhir, tetapi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Produksi dan pembakaran plastik secara global menghasilkan emisi setara dengan 189 PLTU batu bara.
Penulis: Riski Rianda
Dikurasi oleh Inggrit Aulia Wati Hasanah
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk melakukan kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di berbagai daerah. Mari kita sama-sama melestarikan lingkungan dan menjaganya.
Yuk bergabung bersama kami sebagai pioneer penghijauan!