Melihat Ecocriticism dalam “Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth” karya Pandu Hamzah

Sementara, aku berada di sisi kebalikannya, aku selalu ngobrol berapi-api soal pelestarian lingkungan, puisi-puisiku bertabur idiom-idiom alam, namun ternyata aku ini adalah orang yang hanya besar omong. Tergoda uang Jakarta beberapa puluh juta saja sebagai keuntungan bikin shelter dan tiang pemancar televisi, aku tega membantai sebatang pohon Kiara penyangga mata air dan kehidupan. (Hamzah, 2015:41)
Deskripsi Singkat Buku
Judul: Sebuah Wilayah Yang Tidak Ada Di Google Earth
Penulis: Pandu Hamzah
No. ISBN: 9786028740449
Penerbit: Lentera Hati
Tanggal Terbit: Mei – 2015
Jumlah Halaman: 286
Berat: 250 gr
Jenis Cover: Soft Cover
Dimensi(L x P) : –
Kategori: Fiksi
Karya Sastra dan Ecocriticism
Karya sastra merupakan suatu mahakarya seorang sastrawan yang di dalamnya memuat beragam ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa karya sastra dapat mengembangkan kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Sehingga besar harapan Karya Sastra pun bisa menjadi sebuah cerminan apa yang terjadi pada masa tersebut.
Bagi beberapa kalangan, Ecocriticism atau Ekokritik memang masih awam terdengar. Padahal salah satu aspek kritik tersebut sangat penting bagi keberlangsungan karya, terutama karya-karya yang di dalamnya memuat aspek ekologi. Ecocriticism adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan alam liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi (Love, 2003:1). Ecocriticism memberikan perhatian terhadap hubungan timbal balik antara karya sastra dengan lingkungan hidup, termasuk hubungan dengan realitas sosial dan fisik, yang biasanya menjadi perhatian dalam ekologi (Love, 2003:1). Dapat kita simpulkan bahwa kajian ecocriticism terhadap karya sastra (dalam hal ini novel) akan menjelaskan bagaimana alam, lingkungan hidup, dengan berbagai persoalannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam karya tersebut.
Pandu Hamzah, Si Penyendiri
Jika ingin melihat sebuah karya dengan Ekokritik di dalamnya, mungkin sebuah novel dari Pandu Hamzah bisa menjadi sebuah start. Pandu Abdurahman Hamzah atau yang lazim dikenal dengan nama Pandu Hamzah adalah sastrawan muda nan bersahaja yang mungkin lenggak-lenggoknya jarang terdengar di telinga para awam. Para penikmat kesusastraan pun tak jarang yang masih mengernyitkan dahi ketika ditanya siapa dia. Pandu, adalah sosok penulis yang inspiratif namun penuh kesan misteri karena mendekonstruksi dirinya dalam sebuah dunia miliknya sendiri. Di saat banyak penulis yang berlomba-lomba tampil ingin dikenal, Pandu justru menepi dari hingar-bingar itu. Ia begitu skeptis pada panggung, mikrofon, dan sorot kamera. Apalagi punya segudang mentalitas ‘asa aing’ yang selalu ingin dikelilingi para pengikut setia.
Meskipun begitu, sebenarnya ia adalah sastrawan yang jam terbangnya sudah bertaraf nasional. Ketika umurnya baru 21 tahun, cerpen pertamanya, Kurusetra (1998), sudah nangkring di Koran Nasional Kompas. Kemudian novel perdananya, Tanah Biru, mampu membuat Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengganjarnya sebagai roman terbaik harapan II di tahun 2003. Dan novel yang akan kita bahas, Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth (2015) berhasil membuka katup kesadaran kita bagaimana negara serta kapitalisme industri menggerus tradisi, kekayaan dan kanekaragaman hayati.
Wilayah itu Bernama Gunung Ciremai
Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth akan membawa Anda untuk bisa berpetualang ke sebuah pelosok belantara di Gunung Ciremai. Kisah diawali dengan pertemuan antara tokoh direktur radio dan televisi dengan dua orang misterius yang menyingkapkan mitos lokal di kawasan Ciremai, terutama tentang eksistensi semacam ‘makhluk hutan’ yang disebut ‘Ulu-Ulu’. Bukan, ini bukanlah sebuah cerita investigasi ala siaran misteri di televisi yang pakai hantu bohongan. Bukan. Ini adalah awal dari perjalanan kita untuk mengenal Ciremai sebagai jantung kehidupan bagi masyarakat Kuningan dan sekitarnya. Pengenalan tersebut dinarasikan melalui arti penting sebuah pohon Kiara bagi mata air, hingga wilayah di kaki gunung Ciremai yang akan dieksploitasi karena potensi panas buminya oleh perusahaan Chevron dari Amerika.
Ada beberapa kisah yang bisa Anda temukan dan Anda nikmati dari buku ini. Mulai dari seorang bocah bisu yang ditemani seekor anjing hutan (ajag), lalu pengelana bernama Zasu yang sangat misterius namun penuh karisma, Octaviany Kiara yang menemukan takdir dan sejarah keluarganya di bawah bayang-bayang gunung Ciremai, latar belakang sejarah pejuang NII yang berhubungan dengan Kiara; terputusnya alam oleh adanya kebijakan tentang hutan lindung yang berdampak pada gaya hidup konsumtif pada masyarakat sekitar, dan tokoh Juju yang terlilit hutang juga terancam kehilangan tanah karena proyek Chevron.
Sebagai pengantar, tokoh direktur radio dan televisi memberi penuturan dokumenter mengenai berbagai hal yang terjadi di sekitar kawasan gunung Ciremai, mulai dari penampakan Ulu-Ulu, kisah tempat persembunyian pemberontak DI/NII (Negara Islam Indonesia), proyek-proyek yang mengancam ekosistem Ciremai, dampak kerusakan alam bagi kehidupan tokoh bernama Lasmi, dan hubungan pribadi dengan kawasan gunung yang mempesona batinnya.
Mengapa Novel Ini?
SWYTDGE, kini kita singkat saja judulnya, bak sebuah oase di tengah padang pasir. Kemunculannya menjadi sebuah pelepas dahaga bagi mereka yang mendambakan buku-buku bertema lingkungan. Dituturkan dengan gaya bahasa yang sederhana, jelas, dan memiliki karakter yang sejalan dengan masing-masing tokoh yang menuturkan kisahnya. Setiap tuturan yang dilakukan penulis memiliki nilai yang krusial, bukan hanya sebagai penyajian isu-isu sosial yang penuh akan filosofi akan tetapi juga sebagai ‘ajakan’ bagi kita untuk bersama-sama ikut menyingkap misteri, teka-teki, serta pesona gunung Ciremai itu sendiri yang sanggup menggoda para pendaki untuk membongkar rahasianya.
5 Tahun berselang setelah diluncurkan, buku dengan tebal 286 halaman ini, masih sangat cocok untuk dibaca pada masa kini. Selama masih banyak orang-orang yang belum paham akan pentingnya alam bagi kita, selama eksploitasi alam masih sering terjadi dan masyarakat justru lebih dirugikan ketimbang diuntungkan. Acep Zamzam Noer, seorang penyair yang melihat buku karya Pandu Hamzah ini sebagai olahan lokalitas dengan segala problematika serta kerumitannya dalam sebuah narasi panjang yang terjaga dan enak dibaca. Pada konteks dimana banyak perusahaan asing mengincar potensi geothermal Gunung Ciremai, bisa jadi inilah perlawanan budaya yang dilakukan penulis terhadap kekuatan yang bukan saja datang dari luar namun juga dari dalam lingkungan sendiri.
Sebagai aktivis lingkungan hidup tentunya Anda tidak boleh melewatkan novel ini. Terutama bagi Anda yang senang akan buku-buku fiksi tapi sarat akan berbagai pengetahuan. Layaknya tokoh direktur melihat misteri di gunung Ciremai dari point of view yang objektif, dan menjelaskan setiap fenomenanya dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Novel ini pun mengajarkan bagaimana pengalaman estetis saat kita jatuh cinta pada alam bisa memberi suatu kebijaksanaan, supaya kita dapat berelasi secara personal dengan alam dan mendorong untuk menjaga keseimbangan kondisinya.
Penulis: Syahidatul Khofifah
Referensi:
[1] Hamzah, Pandu. 2015. Sebuah Wilayah yang Tidak Ada di Google Earth. Ciputat: Literati.
[2] Love, Glen A. 2003. Practical Ecocriticism, Literature, Biology, and the Environment. USA: University of Virginia Press.
[3] Anwar, M Khoirul. 2019. Pandu: Pemandu Literasi yang Syahdu. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2020 melalui: https://www.indonesiana.id/read/63832/pandu-pemandu-literasi-yang-syahdu
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya abrasi yang dapat merugikan banyak pihak!
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!