Pengertian Lahan Gambut

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 57 Tahun 2016, gambut memiliki definisi material organik terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) sentimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa. Sedangkan menurut Agus dan Subiksa (2008), lahan gambut adalah sebidang lahan yang lapisan tanahnya tersusun oleh bahan organik yang banyak yang kandungan karbon organiknya 18% dan tebalnya mencapai hingga lebih dari 50 sentimeter.
Lahan gambut merupakan lahan yang terbentuk selama ribuan tahun. Keberadaannya memiliki berbagai manfaat. Antara lain, gambut bisa menyimpan 30 persen karbon dunia, mencegah kekeringan, dan mencegah pencampuran air asin di irigasi pertanian. Selain itu, gambut juga menjadi rumah bagi satwa langka.
Luas Lahan Gambut di Indonesia
Berdasarkan data Global Wetlands yang diakses pada 16 April 2019, Indonesia memiliki lahan gambut terbesar kedua di dunia dengan luas mencapai 22,5 juta hektare (ha). Sedangkan urutan pertama ditempati Brazil dengan luas lahan gambut sebesar 31,1 juta ha.

Adapun di Tanah Air, provinsi pemilik lahan gambut terbesar adalah Papua dengan luas 6,3 juta ha. Disusul kemudian Kalimantan Tengah (2,7 juta ha), Riau (2,2 juta ha), Kalimantan Barat (1,8 juta ha) dan Sumatera Selatan (1,7 juta ha). Selain itu ada Papua Barat (1,3 juta ha), Kalimantan Timur (0,9 juta ha) serta Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha.
Karakteristik Lahan Gambut
Lahan gambut memiliki penyusun lapisan berupa tanah gambut. Tanah gambut sendiri memiliki karakteristik yang dapat dibedakan secara fisik dan kimia.
Secara fisik, tanah gambut memiliki kadar air kisaran 100% hingga 1300% dari berat keringnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa air yang mampu diserap oleh gambut mencapai 13 kali dari bobotnya. Sehingga air masih mampu mengalir ke areal sekelilingnya oleh kubah gambut hingga batas tertentu. Kadar air tinggi menjadikan gambut memiliki kepadatan tanah atau bulk density yang rendah sehingga kemampuan untuk menahan bebannya rendah dan tanahnya menjadi lunak atau lembek.
Bulk density yang dimiliki juga berbeda-beda pada tiap tingkat dekomposisinya. Misalnya pada lapisan atas umumnya antara 0,1 g/cm3 sampai 0,2 g/cm3. Pada gambut fibrik memiliki bulk density berkisar lebih rendah dari 0,1 g/cm3. Pada gambut di jalur aliran sungai yang dapat memiliki bulk density lebih besar dari 0,2 g/cm3 dengan faktor pengaruh berupa tanah mineral.
Bulk density yang rendah dapat menyulitkan manusia untuk pengoperasian alat berat di atasnya bahkan menopang tanaman khususnya tanaman tahunan agar tumbuh berdiri dengan tegak.
Gambut dapat mengalami penyusutan volume apabila mengalami drainase dan dapat menyebabkan penurunan permukaan tanah atau subsiden. Penurunan permukaan tanah dapat terjadi bukan hanya disebabkan oleh penyusutan volume, tetapi juga erosi dan proses dekomposisi. Gambut tidak bisa menyerap air lagi apabila telah mengering dan kadar airnya dibawah 100%, sehingga bahan organiknya dapat dengan mudah terbakar apabila dalam kondisi kering.
Secara kimia, tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral yang menyusunnya termasuk dalam ketebalan dan jenis mineralnya pada setiap substratum serta tingkat dekomposisinya.
Di Indonesia, kandungan mineral pada gambut hanya berkisar 5% dan sisanya merupakan bahan organik. Bahan organiknya juga terbagi menjadi beberapa fraksi seperti senyawa humat yang terdiri 10% hingga 20% dan sisanya merupakan senyawa selulosa, lilin, hemiselulosa, suberin, lignin, protein, resin, dan lain-lain.
Tanah gambut juga memiliki pH yang tergolong asam dengan tingkat keasaman yang relatif tinggi berkisar antara 3 sampai 5 misalnya pada gambut oligotropik dengan pH 3,25 hingga 3,75 yang terdapat substratum pasir kuarsa. Gambut oligotropik juga sering ditemukan di Pulau Kalimantan.
Jenis-Jenis Lahan Gambut
Lahan ini juga terbagi berdasarkan klasifikasi menjadi beberapa macam. Klasifikasinya dapat terbagi berdasarkan kedalaman, posisi pembentukan, lingkungan pembentukan, kesuburan, hingga tingkat kematangannya.
Berdasarkan Kedalamannya
Lahan ini terbagi menjadi 4 jenis berdasarkan kedalamannya yaitu:
- Dangkal (Kedalaman 50 cm sampai 100 cm)
- Sedang (Kedalamannya 100 cm hingga 200 cm)
- Dalam (Kedalaman antara 200 cm sampai 300 cm)
- Sangat dalam (Kedalaman yang lebih dari 300cm)
Berdasarkan Posisi Pembentukannya
Jika dilihat dari posisi pembentukannya maka terbagi menjadi 3 jenis yaitu:
- Gambut pedalaman yang terbentuk pada daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
- Gambut pantai dengan lokasi pembentukannya dekat pantai laut dan dipengaruhi oleh mineral air laut.
- Gambut transisi dengan posisi pembentukan antara gambut pedalaman dan gambut pantai serta mendapat pengaruh secara tidak langsung oleh air pasang laut.
Berdasarkan Lingkungan Pembentukan
Jenis ini membagi menjadi 2 jenis lahan.
- Gambut topogen adalah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga 4 meter saja, tidak begitu asam airnya dan relatif subur dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen relatif tidak banyak dijumpai.
- Gambut ombrogen adalah lapisan tanah gambut yang sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen, namun gambut ombrogen lebih tua umurnya. Pada umumnya, gambut ombrogen mempunyai lapisan yang lebih tebal, hingga kedalamannya 20 meter, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan air hujan, sehingga kurang subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0-4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti air teh yang pekat. Gambut ombrogen kebanyakan terbentuk tidak jauh dari pantai. Tanah gambut ini kemungkinan bermula dari tanah endapan mangrove yang kemudian mengering, kandungan garam dan sulfida (bahan kimia) yang tinggi di tanah itu mengakibatkan hanya sedikit dihuni oleh jasad-jasad renik pengurai. Dengan demikian lapisan gambut mulai terbentuk di atasnya.
Berdasarkan Kesuburan
Lahan ini terbagi ke dalam 3 jenis lahan.
- Eutrofik
Eutrofik kaya mineral dan basa-basa juga unsur hara lainnya sehingga tergolong subur dan termasuk dalam gambut yang tipis serta mendapat pengayaan oleh air laut atau air sungai.
- Mesotrofik
Jenis ini memiliki tingkat kesuburan agak subur dengan kandungan basa serta mineralnya tergolong sedang.
- Oligotrofik
Jenis yang tidak tergolong subur dan miskin mineral serta senyawa basa lainnya biasanya memiliki ciri-ciri kubah gambut yang tebal dan tidak mendapat pengaruh dari air laut atau lumpur sungai.
Berdasarkan Tingkat Kematangannya
Berdasarkan tingkat kematangannya, lahan gambut juga dibagi menjadi 3 yaitu:
- Matang atau Saprik
Jenis gambut yang telah melapuk lanjut serta tidak dikenali lagi bahan asalnya dengan ciri-ciri warna cokelat tua hingga hitam dan kandungan seratnya apabila diremas kurang dari 15%.
- Setengah Matang atau Hemik
Jenis ini mengalami setengah pelapukan dengan warna cokelat dan masih bisa dikenali bahan asalnya dan kandungan serat apabila diremas adalah 15 sampai 75%.
- Jenis mentah atau Fibrik
Jenis yang bahan asalnya masih lebih bisa dikenali daripada jenis hemik dan belum mengalami pelapukan sehingga kandungan seratnya apabila diremas masih tersisa lebih dari 75%. Ciri-ciri lainnya yaitu memiliki warna cokelat yang lebih muda.
Pembentukan Gambut

Terbentuknya gambut terdiri dari beberapa proses. Gambut diduga terbentuk pada masa Holosin yaitu sekitar 10.000 hingga 5000 tahun SM, sedangkan di Indonesia terjadi pada tahun 6.800 sampai 4.200 SM. Bahkan di Kalimantan Tengah umur gambutnya mencapai 6,239 tahun di kedalaman 100 cm dan 8.260 tahun di kedalaman 5 m apabila ditelusuri menggunakan teknik radio isotop atau carbon dating.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa untuk gambut terbentuk memerlukan waktu yang sangat panjang. Kecepatan pembentukan gambut adalah sekitar 0,3 mm/tahun.
Pada awalnya merupakan danau dangkal yang kemudian ditumbuhi oleh vegetasi lahan basah serta tanaman air lainnya secara perlahan.
Kemudian, vegetasi yang tumbuh sebelumnya mati dan mengalami proses pelapukan secara bertahap. Proses pelapukan tersebut membentuk lapisan transisi dengan lapisan di bawahnya atau lapisan substratum berupa tanah mineral. Kemudian, tumbuh lagi tanaman berikutnya di bagian yang lebih tengah dari danau dangkal dan membentuk lapisan-lapisan gambut lainnya hingga memenuhi danau tersebut.
Bagian yang mengisi danau dangkal dikenal dengan nama gambut topogen. Gambut topogen memiliki proses pembentukan akibat topografi adalah berupa daerah cekungan dan tergolong eutrofik sehingga termasuk tanah yang subur karena adanya pengaruh dari tanah mineral. Jika terjadi banjir besar akan meningkatkan mineral di dalamnya. Penambahan mineral juga turut dalam meningkatkan kesuburan tanahnya.
Di atas jenis gambut topogen masih dapat ditumbuhi dengan subur oleh tanaman tertentu. Kemudian terbentuklah lapisan gambut yang baru dari hasil pelapukannya sehingga semakin banyak pelapukan membentuk permukaan yang cembung yang disebut sebagai kubah gambut.
Di atas jenis gambut topogen muncul kembali jenis gambut yang disebut dengan jenis gambut ombrogen dan dipengaruhi oleh air hujan dalam proses pembentukannya.
Kesuburan dari jenis gambut ombrogen lebih rendah apabila dibandingkan dengan gambut topogen. Hal ini dapat terjadi karena pada jenis gambut ombrogen tidak mengalami penambahan mineral.
Manfaat Gambut

Gambut berfungsi sebagai pengendalian perubahan iklim, tempat penyimpanan karbon, sumber makanan, habitat atau tempat tinggal untuk satwa liar dan tumbuhan, mengatur tata air, tempat rekreasi dan edukasi, dan lain-lain.
Flora dan Fauna di Lahan Gambut

Lahan gambut juga merupakan tempat habitat bagi flora dan fauna. Salah satu fungsinya adalah untuk menjaga keanekaragaman spesies hayati yang ada di dalamnya. Penyebaran spesiesnya juga dipengaruhi oleh formasi pada lahan gambut dan pada bagian yang memiliki gambut tebal akan sedikit jenis vegetasinya karena miskin unsur hara.
Menurut Rizali dan Buchori (2015), pada bagian pinggiran kubah memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan paling tinggi dan sering disebut sebagai mixed forest dengan berbagai jenis pohon dengan diameter kayu yang besar juga banyak ditumbuhi oleh tumbuhan bawah. Semakin dekat dengan kubah gambut, akan semakin sedikit juga keanekaragaman tumbuhannya dan sering disebut sebagai deep peat forest.
Tumbuhan yang sering ditemukan dan merupakan endemik ekosistem ini adalah Jelutung Rawa (Dyera costulata) serta Ramin (Gonystylus bancanus) yang merupakan tumbuhan endemik dan bernilai ekonomis.
Selain itu masih terdapat tumbuhan lainnya yang merupakan endemik pada lahan tersebut seperti punak (Tetramerista glabra), Kempas (Kompassia malaccensis), Pulai Rawa (Alstonia pneumatophora), bintangur (Callophyllum spp.), Nyatoh (Palaquium spp.), Meranti Rawa (Shorea pauciflora), hingga Rengas (Melanorrhoea walichii).
Pada lahan ini juga ditemukan banyak fauna yang tergolong dalam fauna akuatik maupun fauna terestrial. Fauna-fauna tersebut merupakan endemik pada ekosistem gambut juga termasuk dalam daftar spesies dilindungi berdasarkan IUCN.
Fauna endemik tersebut diantaranya Langur (Presbytis rubicunda), Harimau Sumatera (Panthera tigris), Buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii), Orang Utan (Pongo pygmaeus), serta Beruang Madu (Helarctos malayanus).
Selain itu, juga ditemukan beberapa spesies ikan yang memiliki nilai jual tinggi seperti Ikan Gabus (Chana striata), Saluang (Rasbora sp.), Toman (Channa micropeltes), dan Tapah (Wallago leeri).
Spesies burung yang langka dan dilindungi juga ditemukan pada lahan gambut seperti Enggang hitam (famili Bucirotidae) dan Rangkong (famili Bucirotidae).
Tidak hanya makrofauna, bahkan terdapat amuba yang memang lazim untuk ditemui pada berbagai kondisi air untuk digunakan sebagai indikator misalnya indikator pada lahan gambut.
Kerusakan Lahan Gambut

Saat ini, lahan ini memiliki banyak sekali permasalahan. Sehingga, menjadikan luasannya terus berkurang. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada lahan tersebut.
Salah satu penyebabnya adalah kebakaran hutan. Bencana ini pada umumnya terjadi akibat ulah manusia secara sengaja maupun tidak sengaja. Selain itu, gejala alam seperti el nino dapat meningkatkan resiko terjadinya kebakaran hutan pada lahan gambut. Pengeringan gambut sangat berperan dalam kerusakannya karena akan sangat sulit bagi gambut untuk kembali menyerap air apabila sudah dikeringkan sehingga mudah terbakar.
Alih fungsi kawasan menjadi perkebunan kelapa sawit juga berpengaruh terhadap kerusakannya. Gambut tersebut dikeringkan sehingga mengalami degradasi karena sulit untuk kembali menyimpan air. Bahkan pada tahun 2014 dalam bulan Juni hingga September telah hilang seluas 4000 hektare gambut karena jumlah perizinan yang dikeluarkan untuk diubah menjadi kebun kelapa sawit terbilang banyak.
Selain itu, juga terdapat pembukaan lahan untuk digunakan menjadi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pembangunan HTI melakukan pembangunan kanal dengan maksud untuk mengatur tata air atau drainase agar dapat dilakukan penanaman. Namun, hal tersebut dapat memicu terjadinya kekeringan dalam lahan tersebut.
Upaya Konservasi Lahan Gambut
Pentingnya kawasan gambut dalam segi ekologi dan sosial budaya menjadikan perlu adanya upaya konservasi agar tetap seperti fungsinya. Lahan yang bisa dimanfaatkan adalah dengan ketebalan kurang dari 3 m dan tidak termasuk kawasan lindung. Perlu adanya sistem alternatif untuk menghilangkan kebiasaan pembakaran gambut dalam upaya menyuburkan tanah pada lahan untuk fungsi pertanian.
Selain itu, juga dibutuhkan penanaman yang dapat menambat banyak CO2 (karbon dioksida) dan toleran tanpa drainase atau drainase dangkal seperti tanaman sagu dan karet. Drainasenya juga harus diatur karena drainase yang semakin besar akan menyebabkan penurunan muka air yang semakin besar juga sehingga dapat mempercepat emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, harus dianalisis sistem hidrologinya di seluruh hamparan lahan khususnya pada kubah gambut.
Penegasan dan penguatan undang-undang dalam mengawasi pengelolaan lahan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perbuatan curang sehingga dapat mendegradasi lahan.
Lahan gambut adalah lahan yang unik dan sangat dibutuhkan kehati-hatian yang tinggi dalam mengelolanya. Semoga bacaan ini dapat memberikan wawasan lebih bagi para pembacanya tentang gambut sehingga dapat bersikap bijak dalam permasalahan lingkungan.
Penulis: Fachrezy Nur Ramadhan
Referensi:
European Commission. 2014. Mapping and Assessment of Ecosystems and Their Services. Indicators for Ecosystem Assessments under Action 5 of the EU Biodiversity Strategy to 2020. Brussels: European Commission dalam Bonn A., Allott T., Evans M., Joosten J., dan Stoneman R. 2016. Chapter One Peatland Restoration and Ecosystem Services: An Introduction. United Kingdom: Cambridge University Press.
Haines-Young R. dan Potschin M. 2013. Common International Classification of Ecosystem Services. Laporan yang disiapkan dalam rangka konsultasi CICES Version 4. Agustus-September 2012. EEA Framework Contract No. EEA/IEA/09/003. London: European Environment Agency dalam Bonn A., Allott T., Evans M., Joosten J., dan Stoneman R. 2016. Chapter One Peatland Restoration and Ecosystem Services: An Introduction. United Kingdom: Cambridge University Press.
JMG Riau. Mengenal Gambut di Sekitar Kita. JMG Riau. Tersedia dalam http://www.jmgriau.or.id/2014/11/mengenal-gambut-di-sekitar-kita.html?m=1. Diakses pada 10 Oktober 2020.
Pay, Pardi. 2017. Peran Penting Gambut dalam Mengurangi Laju Perubahan Iklim. Forest Watch Indonesia. Tersedia dalam https://fwi.or.id/publikasi/peran-penting-gambut-dalam-mengurangi-laju-perubahan-iklim/. Diakses pada 10 Oktober 2020.
Priskila, M. 2020. Lahan Gambut: Pengertian, Jenis, dan Manfaat. Forester Act Tersedia dalam https://foresteract.com/lahan-gambut/. Diakses pada 7 Oktober 2020.
Tim Publikasi Katadata. 2019. Luas Gambut Indonesia Terbesar Kedua di Dunia. Katadata. Tersedia dalam https://www.katadata.co.id/amp/timpublikasikatadata/infografik/5e9a519433cb1/luas-gambut-indonesia-terbesar-kedua-di-dunia. Diakses pada 7 Oktober 2020.
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya abrasi yang dapat merugikan banyak pihak!
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!