Menyelami Makna Perjalanan dalam Kronik Garis Batas

Buku Garis Batas
Kronik Garis Batas by Avgustin

Saling baku hantam hingga titik darah penghabisan pernah dilakukan oleh personel militer Cina-India di Ladakh. Pertarungan tanpa adu tembak itu menewaskan 20 tentara India, sedangkan Cina belum melaporkan adanya korban jiwa atau tentara yang terluka. Itulah sinopsi singkat kronik garis batas.

Ads

Ketegangan antara Indonesia-Malaysia terhadap garis batas negara pun pernah bahkan sering terjadi. Konflik garis batas kedua negara tersebut terjadi terutama di blok Ambalat. Blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di Selat Makassar itu menyimpan begitu banyak potensi laut yang luar biasa, terutama minyak yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.

Baca Lainnya : Burung Kasuari: Si Pemalu yang Paling Berbahaya di Dunia

Dua contoh kasus di atas merupakan salah dua dari sekian banyak persinggungan atas garis batas negara yang berdiri di atas tanah yang sama.

Terlepas dari itu semua, betapa sejengkal tanah yang didaku milik suatu negara merupakan simbol kekuatan, kekuasaan, dan kedaulatan sebuah bangsa. Karenanya, tidak ada satu pun negara yang rela tanahnya dicaplok walau sejengkal.

Ads
Kapan jaga hutan? Sekarang! Buka lindungihutan.com

Jika kedua negara sudah saling klaim atas garis batas yang telah ditentukan sebelumnya, maka siap-siap saja genderang perang akan ditabuh, adu kuat militer beserta alutsista yang dimiliki pun dikerahkan sepenuhnya demi kedigdayaan dan kedaulatan sebuah bangsa.

Sederet problematika dan kisah unik di tiap garis batas juga direkam secara epik oleh jurnalis asal Lumajang, Agustinus Wibowo dalam bukunya Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah. Dalam perjalananya mengunjungi, memaknai, dan mengamati negeri-negeri Stan di Asia Tengah itu, Agustin selalu menemukan keunikan, budaya, tradisi, hingga karakteristik sebuah bangsa.

Bahasa, lagu, kuliner, bendera, hingga lambang negara merupakan lima dari sekian banyak keunikan dan karakteristik yang dimiliki oleh setiap negara dan sudah selayaknya setiap warga negara menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan kearifan lokal ada di tiap daerah. Itulah kiranya yang dapat membakar jiwa nasionalisme dan patriotisme seluruh warga negara.

Dan sekali lagi, seorang Agustin dapat merekamnya dengan kamera, buku harian, dan laptop yang setia menemani perjalananya. Dengan penguasaan bahasa lebih dari tiga (poliglot) ia mampu berbaur dengan orang-orang dari berbagai negara di Asia Tengah yang ia temui.

Orang bilang, belajar satu bahasa asing, maka kita akan mendapat satu kepribadian baru. Bahasa punya daya magis untuk mempengaruhi pola pikir seseorang, wataknya, budayanya. Bahasa juga bisa menyebar melintasi batas-batas fisik antar negeri, mengarungi dimensi waktu, melebarkan hegemoni. Bahasa Inggris disebarkan ke seluruh penjuru bumi oleh sejarah kolonial, lalu dimantapkan lagi dengan kemajuan teknologi (hal. 322). Begitu ujarnya saat bertemu dengan kawannya yang berasal dari Uzbekistan.

Agustin pun mengkritik pemimpin dan rakyatnya di belahan lain Asia yang lebih membanggakan bahasa asing daripada bahasa negerinya, Ia memandang bahwa hal tersebut sengaja dilakukan sebagai lambang kecerdasan dan kemajuan berpikir. Mereka seolah-olah tertimbun kekaguman dan pemujaan terhadap kemajuan peradaban asing (hal. 179).

Namun bukan berarti seluruhnya berjalan sesuai rencana. Nyatanya, di setiap perpindahan negara Stan satu ke negara Stan lainnya ada saja kesulitan, cobaan, dan rintangan yang terus menghadang. Tak tanggung-tanggung, nyawa pun ditaruhkan hanya untuk melihat sisi lain dari setiap negara di bumi yang terkurung pegunungan itu.

Kendati demikian, Agustin semakin terpacu dan menemukan makna baru dari sebuah perjalanan panjangnya dengan merefleksikan ungkapan filsafat Tiongkok tentang rihlah; Di tengah perjuangan berat ini, saya semakin menyadari sebuah ungkapan filsafat Tiongkok: seni sebuah perjalanan adalah manakala kita melupakan siapa diri kita. (hal. 281)

Membaca buku berjumlah 510 halaman ini akan membuat kita larut dalam cerita, seolah-olah kita diajak masuk ke dalam perjalanannya menyusuri setiap pelosok negeri Asia Tengah.

Bahasa yang mudah dicerna dan enak dibaca membikin buku ini layak dibaca oleh semua kalangan. Selain itu narasi yang kuat, gaya kepenulisan yang khas, dan alur yang tidak monoton menjadi nilai tambah bagi karya ini.

Menurut saya itu sudah memenuhi dua syarat sebuah karya tulis, seperti yang dikatakan Horatius, yakni dulce et utile, mengubur dan mendidik.

Perjalanan menyusuri garis batas dimulai dari Afghanistan negeri selimut debu yang mengurung diri dan terkucilkan dari dunia serta penuh dengan teror yang tak pernah usai.

Perjalanan kemudian menyeberangi Sungai Amu Darya menuju negeri yang sama sekali berbeda, Tajikistan. Negeri terkecil daripada yang lainnya dengan bentuk topografi bak hewan kecil merangkak dengan kepala menghadap ke Cina ini adalah negara yang lemah ekonomi namun tidak dengan pendidikannya.

Kemudian ke arah utara, lebih tepatnya negara Kirgiztan negeri yang tak jauh beda kondisi budaya dan perekonomiannya dengan Tajikistan ini sangat menjunjung tinggi penggembalaan sebagai penunjunang perekonomian dan budaya. Kemudian ke utara lagi, di sana terbentang negeri Stan terbesar di Asia Tengah, Kazakhstan.

Perjalanan dilanjut ke selatan, di sana Agustinus menginjakan kaki di negeri para ilmuan Islam, Uzbekistan. Negeri ini memiliki bangunan kuno klasik dan salah satu kota bersejarah, Bukhara. Kemudian berlanjut ke Turkmenistan, dan kembali lagi ke Afghanistan, negeri yang tak berhenti bergejolak itu.

Dalam perjalanannya, Agustin dapat merekam setiap momen dengan detail itu karena ia dapat masuk ke dalam relung kehidupan masyarakat itu sendiri. Karenanya ia dapat diterima oleh warga setempat, ia pun bisa merasakan kondisi dan suasana masyarakat sebenar-benarnya.

Seperti saat Agustin menghadiri acara pernikahan orang Uzbek. Di sana, ia menggambarkan betapa perempuan Uzbek yang menikah selalu dirundung pilu.

Kelin–mempelai perempuan–terbungkus dalam cadar tembus pandang dan pakaian hitam, menampakkan diri di ambang pintu. Hitam, betapa muramnya. Wajahnya pun penuh kesedihan. Matanya terus menatap ke bawah. Dan tak lama setelah itu, saya melihat butir-butir air mata mengalir di pipinya. (hal. 376).

Setiap mempelai perempuan Uzbek dapat dipastikan akan menangis saat akad nikah. Sebab ia akan tinggal bersama keluarga dan lelaki yang benar-benar asing dan ia pun harus meninggalkan rumah yang selama ini telah memberikan kehangatan untuknya. Tidak seperti senyum dan tawa bahagia pengantin di Indonesia.

Dalam buku kronik Garis Batas, terdapat pepatah Cina tentang seni traveling yang perlu kita perhatikan dalam sebuah perjalanan panjang. “Di dalam rumah bergantunglah pada orangtua; Di luar rumah bergantunglah pada sahabat.” (hal. 365).

Keterangan Buku

Judul: Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah

Penulis: Agustinus Wibowo

Cetakan: April 2013

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Halaman: xiv + 510 halaman

ISBN: 978-979-22-6884-3

 

Penulis: R Fauzi Fuadi

Referensi:

Agustinus Wibowo. Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (2013)

https://www.kompas.com/global/read/2020/06/18/220137170/konflik-perbatasan-india-china-seberapa-kuat-militer-kedua-negara?page=all

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20150617140454-20-60584/sejarah-panjang-kemelut-indonesia-malaysia-di-ambalat 

 

LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya abrasi yang dapat merugikan banyak pihak!

Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!

Your Beloved Author