Perubahan iklim adalah salah satu tantangan terbesar manusia pada abad kedua puluh satu.
Sejumlah peneliti telah mencapai konsensus bahwa suhu bumi meningkat secara drastis dalam 10.000 tahun terakhir. Tingginya suhu planet ini disebabkan oleh gas rumah kaca, salah satu penyusun terbesarnya berupa karbon dioksida (CO2).
Dalam 100 tahun terakhir, peningkatan karbon dioksida di atmosfer terjadi sangat pesat. Tingkat gas rumah kaca di atmosfer saat ini setara dengan hampir 400 ppm CO2, meningkat hampir 50% sebelum revolusi industri.
Stern memprediksi bahwa konsentrasi CO2 akan meningkat lebih dari 2 ppm per tahun jika tren saat ini bertahan.
Karbon dioksida digadang-gadang sebagai gas paling penting dalam gas rumah kaca berumur panjang. Sebetulnya gas CO2 menyerap lebih sedikit panas per molekul jika dibandingkan dengan gas rumah kaca lainnya, seperti metana (CH4) atau dinitrogen oksida (N2O).
Namun, ketersediaan gas CO2 yang melimpah dan bertahan lebih lama di atmosfer, menyebabkan gas ini memiliki daya tarik tersendiri. Ditambah fakta bahwa peningkatan CO2 di atmosfer bertanggung jawab atas sekitar dua pertiga dari total ketidakseimbangan energi yang menyebabkan suhu bumi meningkat.
Akibat dari sifat CO2 yang mampu menyerap dan memancarkan panas. Jumlahnya yang melimpah akan merangkap panas, sehingga suhu di bumi semakin hangat.
Kegiatan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sangat akrab dengan prinsip Common but Differentiated Responsibility (CBDR) atau tanggung jawab yang berlaku bersama tetapi dengan porsi yang berbeda.
Prinsip ini mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara maju berkontribusi masif terhadap gas rumah kaca di atmosfer, termasuk CO2.
Relevan dengan Protokol Kyoto, negara maju memiliki kadar tanggung jawab yang lebih besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan membantu negara berkembang melakukan mitigasi serta adaptasi.
Banyak negara menyatakan tidak mampu melakukannya sendiri, sehingga mereka dapat “melibatkan” pihak lain untuk melakukan pengurangan emisi atas nama negara tersebut.
Tidak hanya negara maju saja, negara berkembang turut aktif dalam sumbangsih gas rumah kaca di atmosfer.
Oleh karena itu, keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.
Negara-negara di seluruh dunia mengakui kenyataan ini melalui Perjanjian Paris (Paris Agreement) sejak tahun 2015. Dua puluh negara bertanggung jawab atas setidaknya tiga perempat dari emisi gas rumah kaca dunia, dengan dipimpin oleh China, Amerika Serikat, dan India.
Pada Artikel 6 Perjanjian Paris, suatu negara dapat membayar pengurangan emisi karbon di negara kedua. Dengan demikian, terdapat pihak yang membutuhkan penurunan emisi dan pihak yang dapat menyuplai penurunan emisi, sehingga terbentuklah sebuah pasar.
Mengenal Lebih Dekat Dengan Pasar Karbon
Pasar karbon dapat dikatakan sebagai suatu instrumen ekonomi yang berfungsi sebagai sarana pelaksanaan kebijakan (policy tool) untuk memberikan insentif bagi kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Dalam pasar karbon, komoditas yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 ekuivalen).
Hak ini dapat berupa berupa pelepasan emisi gas rumah kaca atau penurunan emisi gas rumah kaca. Kondisi tersebut kemudian menyebabkan adanya supply dan demand dalam pasar.
Keberadaan pasar karbon bertujuan untuk mendorong perusahaan untuk membatasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari aktivitas industri.
Sebagai komponen utama gas rumah kaca di atmosfer, tak heran jika CO2 memiliki vokal yang kuat dalam pasar karbon. Namun, perlu diketahui bahwa terdapat jenis gas rumah kaca lain yang dapat diperdagangkan dalam pasar karbon.
Jenis-jenis tersebut tercantum dalam Protokol Kyoto meliputi:
- Karbon dioksida (CO2)
- Metana (CH4)
- Nitrat oksida (N2O)
- Hydrofluorocarbons (HFCs)
- Perfluorocarbons (PFCs), dan
- Sulfur heksafluorida (SF6).
Keenam jenis gas rumah kaca tersebut mempunyai potensi penyebab pemanasan global yang berbeda-beda.
Angka GWP (Global Warming Potential) untuk karbon dioksida ditetapkan sama dengan 1, kemudian menjadi acuan perhitungan dari gas-gas rumah kaca yang lain.
Sebagai contoh, pada saat Protokol Kyoto disahkan pada tahun 1997, potensi pemanasan global untuk gas metana atau CH4 ditetapkan sebesar 21 mengikuti laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) ke-2. Berarti 1 ton metana mempunyai potensi menyebabkan pemanasan global 21 kali lebih tinggi daripada 1 ton karbon dioksida.
Indeks GWP bersifat tentatif menyesuaikan perkembangan sains.
Keberadaan pasar karbon erat kaitannya dengan aktivitas perdagangan karbon. Di dalam banyak dokumen, perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Terlihat perbedaan yang jelas antara istilah “pasar karbon” dan “perdagangan karbon”, dimana pasar (market) adalah penyebab adanya perdagangan.
Selain kedua istilah tersebut, juga dikenal istilah “mekanisme berbasis pasar”, terutama setelah terjadinya Persetujuan Paris.
Artinya mekanisme yang implementasinya didasarkan pada kaidah-kaidah yang berlaku di pasar. Hasil akhir dari mekanisme berbasis pasar ini dapat dimungkinkan bukan berwujud perdagangan atau jual beli sertifikat karbon kredit maupun kuota emisi (allowances).
Serba-Serbi Pasar Karbon
Dalam perjalanannya, pasar karbon dapat terbentuk atas keinginan sendiri atau bersifat mengikat/wajib.
Permintaan (demand) pada pasar karbon sukarela terbentuk semata karena adanya inisiatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari suatu kegiatan yang dilakukan.
Keinginan ini memicu terjadinya transaksi dengan penyedia karbon yang kerap kali terjadi secara langsung (over the counter). Dalam beberapa kasus, keinginan/kebutuhan tersebut digabungkan menjadi komitmen kolektif sehingga pasarnya membesar dan menarik keterlibatan pihak lain seperti investor maupun layanan bursa. Contohnya adalah Chicago Climate Exchange (CCX), 2003-2010.
Chicago Climate Exchange (CCX) adalah pasar karbon sukarela pertama di dunia dan hanya terdapat di Amerika Utara. Pasar ini mengikat secara hukum untuk pengurangan dan perdagangan gas rumah kaca untuk proyek sumber emisi dan offset di Amerika Utara dan Brazil.
Setelah 7 tahun beroperasi, CCX dinyatakan tutup karena investor besar tidak tertarik pada pasar sukarela. Mereka cenderung mengandalkan undang-undang AS untuk memberlakukan pasar wajib.
Volume pasar sukarela yang relatif kecil dan sulit diperkirakan menjadi tantangan tersendiri bagi jenis pembentukan pasar karbon ini.
Sementara itu, pasar karbon wajib terbentuk karena ada kebijakan yang mewajibkan pengurangan dan/atau pembatasan jumlah emisi gas rumah kaca.
Pasar karbon kemudian diterapkan sebagai sarana pelaksanaan kebijakan tersebut (policy tool). Protokol Kyoto adalah salah satu contoh kebijakan yang mewajibkan pengurangan emisi gas rumah kaca tetapi memperbolehkan penggunaan pasar karbon untuk memenuhinya.
Volume pasar karbon wajib sangat bergantung pada rancangan dan lingkup kebijakan pengurangan/pembatasan emisi yang diterapkan, sehingga relatif lebih mudah diperkirakan dan direncanakan dalam jangka panjang dibandingkan pasar karbon sukarela.
Cara berdagang dalam pasar karbon relatif beragam.
Sistem berdagang yang umum digunakan yakni trading dan crediting.
Carbon trading, emission trading system, atau cap-and-trade kerap diterapkan pada pasar karbon wajib karena untuk menjalankan sistem ini diperlukan pembatasan emisi gas rumah kaca pada pihak-pihak peserta pasar.
Dalam sistem ini, setiap peserta diberi kewajiban dalam pengurangan/pembatasan emisi karbon yang disebut cap. Umumnya cap diterapkan dalam bentuk pengalokasian jatah/kuota (allowance) emisi yang dilakukan di awal periode.
Pada akhir periode, para peserta harus menyetorkan unit kuota emisi aktual yang telah mereka lepaskan kepada lembaga yang telah ditentukan. Peserta yang melewati cap-nya dapat membeli tambahan unit kuota dari mereka yang kuotanya tidak terpakai.
Dalam praktiknya, penerapan perdagangan emisi membutuhkan persiapan yang cukup lama, khususnya terkait pengumpulan data.
Namun, pengelolaan yang dilakukan relatif sederhana karena fokusnya berupa data emisi organisasi bukan hasil kegiatan-kegiatan penurunan emisi. Dengan demikian tidak diperlukan perhitungan penurunan emisi dengan berbagai metodologi ilmiah yang rumit.
Sistem perdagangan emisi yang terbesar saat ini adalah European Union Emissions Trading System (EU ETS) yang membentuk sekitar 70% pasar global saat ini. Hal tersebut praktis membuat EU ETS menjadi acuan bagi pasar karbon di seluruh dunia.
Sementara pada crediting atau baseline-and-crediting komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar tersebut.
Komoditi ini disebut juga sebagai kredit karbon. Satu unit kredit karbon umumnya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida. Sistem ini berfokus pada emisi di tingkat proyek/kegiatan.
Untuk mengetahui emisi baseline dan emisi aktual diperlukan metode perhitungan dan pemantauan yang sesuai dengan jenis kegiatan yang dilakukan.
Oleh karena itu, semakin banyak jenis kegiatan maka semakin banyak pula metodologi yang perlu dipersiapkan.
Pasar karbon jenis ini biasa disebut juga sebagai mekanisme carbon offset atau baseline-and-offsetting.
Tujuan pembeli kredit karbon (individu atau organisasi) untuk menggantikan (offsetting) emisi gas rumah kaca yang dilepaskan akibat kegiatannya. Dengan membeli dan menggunakan kredit karbon, maka pembeli dapat “menetralkan/menggantikan” emisi gas rumah kacanya.
Bahkan bila jumlah kredit karbon yang digunakan untuk offset sama dengan jumlah emisi yang dilepaskan, maka emisi pengguna kredit karbon dapat dibilang nol atau netral.
Keuntungan melakukan offsetting atau penetralan emisi karbon adalah adanya pengakuan bahwa perusahaan lebih ramah lingkungan. Emisi gas rumah kaca dari suatu produk telah “ditebus”, sehingga harga produk dapat meningkat dan menempati ceruk pasar premium.
Sebagian besar sistem trading berada dalam lingkup pasar wajib, sementara sistem crediting sebagian besar berupa pasar sukarela.
Namun, terdapat program crediting yang termasuk ke dalam pasar wajib yakni Clean Development Mechanism (CDM) dan Joint Implementation (JI). Sedangkan yang termasuk ke dalam pasar sukarela antara lain adalah Gold Standard (GS), Verified Carbon Standard (VCS), Plan Vivo, Panda Standard, American Carbon Registry, dan sebagainya.
Sistem crediting umumnya dapat beroperasi lintas batas negara/wilayah, tidak seperti sistem trading Emission Trading Scheme (ETS).
Di beberapa negara, ETS tidak dibangun pada lingkup nasional, melainkan hanya pada beberapa negara bagian atau provinsi. Oleh karena itu, pada trading terdapat penamaan ETS yang sudah beroperasi di dunia seperti European Union ETS (EU ETS), Swiss ETS, New Zealand ETS, dan sebagainya.
Trading, Crediting, dan Pajak Karbon Sebagai Kunci Carbon Pricing
Ungkapan carbon pricing kini telah menjadi tren yang berkembang antar negara.

Carbon pricing memberi harga pada polusi karbon sebagai cara untuk menurunkan emisi dan mendorong investasi ke opsi yang lebih bersih. Terdapat beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk menentukan harga karbon.
Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan arah dan hasil yang sama. Mereka mulai mengerti maksud dari biaya eksternal emisi karbon, yakni biaya yang dibayar publik dengan cara lain akibat dari kerusakan hutan dan sebagainya.
Carbon pricing merupakan pendekatan berbasis pasar untuk membebankan emisi kepada penghasilnya. Carbon pricing akan merangsang teknologi bersih dan inovasi pasar serta mendorong pertumbuhan ekonomi baru yang rendah karbon.
Berdasarkan World Bank, terdapat dua jenis utama penetapan harga karbon yakni Emission Trading System (ETS) dan pajak karbon.
Berbeda dengan kebijakan ETS, pajak karbon tidak mengenal adanya perdagangan emisi [8]. Prinsipnya adalah siapa yang melakukan emisi harus membayar.
Sementara berdasarkan pernyataan Hindarto dan Samsyanugraha dalam buku Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Iklim, secara umum, pajak karbon, trading, maupun crediting dapat digolongkan menjadi satu instrumen ekonomi yang disebut carbon pricing atau penilaian terhadap harga karbon.
Instrumen ekonomi yang mendasarkan perhitungannya adalah melalui dua instrumen pokok, yaitu satuan jumlah karbon itu sendiri dan harga yang layak dibayarkan per satuan ton karbon.
Respon Indonesia terhadap Pasar Karbon
Implementasi pasar karbon di Indonesia membawa hasil yang cukup menggembirakan. Beberapa mekanisme telah diterapkan seperti Clean Development Mechanism (CDM).
Melalui mekanisme ini, sebanyak 242 proyek telah dikembangkan dengan kredit karbon yang telah diterbitkan sebesar 32,17 juta ton CO2.
Langkah tersebut sangat diminati oleh kalangan industri dan bisnis sebagai alternatif pembiayaan pengurangan emisi karena dianggap efisien serta efektif dalam pelaksanaanya.
Namun, pada tahun 2012 CDM di Indonesia mulai meredup, akibat konsekuensi dari kebijakan pasar EU-ETS (European Emission Trading Scheme) yang tidak menerima kredit karbon dari negara berkembang, melainkan hanya dari negara miskin saja.
Selain itu, terdapat pula VCS, meski dari segi jumlah tidak sebanyak CDM. Mekanisme ini menjadi alternatif dari pembiayaan pengurangan emisi yang cukup berhasil.
VCS dikembangkan sebagai alternatif pembiayaan bagi perusahaan swasta dan bisnis untuk melakukan pengurangan emisi dan pembangunan rendah karbon.
Menariknya, proyek-proyek VCS di Indonesia sangat diminati oleh pihak swasta pengembang proyek Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dan aforestasi.
Proyek berbasis REDD+ diungkapkan sebagai proyek berbasis mekanisme pasar terbesar di dunia dengan total karbon kredit yang telah diterbitkan sekitar 78% dari total keseluruhan kredit karbon melalui mekanisme VCS.
Joint Crediting Mechanism (JCM) adalah mekanisme berbasis pasar melalui kerjasama bilateral antara dua negara, yaitu Jepang dan negara tuan rumah.
JCM telah berdinamika di Indonesia sejak bulan Agustus tahun 2013 hingga saat ini.
Tidak hanya dengan Indonesia, Jepang juga menggandeng 17 negara lainnya. Tak heran jika mekanisme ini dikatakan sebagai mekanisme berbasis pasar dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Di Indonesia, sebanyak 29 proyek telah dijalankan melalui mekanisme ini. Dua diantaranya berhasil menerbitkan kredit karbon sebanyak 40 ton CO2.
Alternatif pembiayaan yang ditawarkan melalui JCM cukup menarik. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk subsidi atau hibah oleh Jepang dalam implementasi proyek JCM.
Melalui subsidi yang diberikan, pihak swasta dan BUMN Indonesia dimungkinkan untuk melakukan implementasi kegiatan penurunan emisi. Dalam pelaksanaanya juga dapat digunakan teknologi terkini dengan biaya yang terjangkau dan berkelanjutan.
Tidak hanya itu, Indonesia telah mengadopsi skema pasar karbon bernuansa lokal yakni melalui Skema Karbon Nusantara (SKN).
SKN adalah mekanisme berbasis pasar yang ditujukan untuk melakukan fasilitasi pengembangan kegiatan sertifikasi pengurangan emisi dan pasar karbon secara domestik di Indonesia. Skema ini dikembangkan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).
Keluaran sertifikasi SKN adalah kredit karbon yang diberi nama Unit Karbon Nusantara (UKN).
Satu UKN setara dengan penurunan satu ton karbon dioksida (CO2). Setiap UKN yang diterbitkan akan dicatat dalam basis data registry SKN dan dapat digunakan untuk menggantikan emisi gas rumah kaca yang dilepaskan (GHG offset) oleh pemilik UKN.
Kepemilikan UKN dapat dipindahtangankan antara sesama pengguna registry, sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan kredit karbon di antara mereka. SKN diharapkan mampu menarik perhatian sektor swasta yang berminat menurunkan emisi GRK-nya.
Setiap UKN yang diterbitkan adalah bukti bahwa kegiatan yang dilakukan telah berhasil menurunkan emisi gas rumah secara permanen, terukur, dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Meski sudah sempat dilakukan piloting (percontohan untuk menguji efektivitas program), skema ini belum dikembangkan lagi oleh pemerintah pasca pembubaran DNPI.
Masa Depan Pasar Karbon
Pasca tahun 2020, implementasi pencapaian target penurunan emisi akan dilakukan berdasar pada Nationally Determined Contribution (NDC).
Melalui NDC, akan ditunjukkan upaya setiap negara untuk mengurangi emisi nasional dan adaptasi dampak perubahan iklim.
Target Indonesia telah disampaikan di dalam NDC adalah pengurangan emisi di tahun 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% apabila ada bantuan asing. Pernyataan tersebut disampaikan dengan basis tahun yang diproyeksikan tahun 2010.
Target dan NDC Indonesia ini telah disetujui oleh presiden dan DPR RI, artinya sah secara hukum untuk diimplementasikan. Target Indonesia ini dapat dikatakan ambisius, salah satunya karena belum secara eksplisit menyebutkan jenis mekanisme pendanaan yang akan digunakan.
Bentuk dan jenis pasar karbon yang akan diakui secara internasional dan memenuhi syarat bagi pemenuhan NDC pasca 2020 masih menjadi teka-teki bersama.
Namun, sejak tahun ini akan dilakukan model pengukuran, pelaporan, dan verifikasi dengan standar yang disetujui oleh semua negara peserta perundingan yang telah melakukan ratifikasi terhadap Persetujuan Paris.
Saat ini baru dilakukan berbagai perundingan, termasuk perundingan tahunan di COP tiap akhir tahun, perundingan tengah tahun, maupun berbagai bentuk diskusi lain yang telah dilakukan.
Tetapi bentuk pasar yang kemudian bisa diakui secara bersama belum bisa didefinisikan dan diputuskan secara bersama.
Penulis: Shofy Khairunnisa