Sampah elektronik ( E-waste ) termasuk dalam sampah B3, untuk itu sangat penting menggolahnya tersebih dahulu. Kali ini tim wanaswara sudah menyiapkan materi seputar sampah elektronik. Selamat membaca~

Perkembangan industri teknologi elektronik yang terjadi secara cepat tidak hanya menawarkan berbagai pilihan barang, tetapi juga berbagai pilihan elektronik yang memiliki nilai tambah. Perkembangan ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memiliki barang elektronik di rumah mereka masing-masing. Keadaan ini pun menjadi pendorong bagi kemajuan bisnis elektronik di Indonesia untuk berkembang dengan pesat.
Industri elektronik telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia (International Labour Organization Working Paper No. 330, 2019). DKI Jakarta sendiri menjadi kota dengan konsumen produk elektronik terbesar di Indonesia (Rimantho & Nasution, 2016). Di satu sisi, teknologi memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun disisi lain, teknologi juga berpotensi menjadi masalah serius bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Laju perkembangan produk elektronik yang begitu cepat membuat masyarakat terus-menerus ingin membeli produk elektronik terbaru (up-to-date), sedangkan produk elektronik lama mereka akan dibiarkan begitu saja dan menciptakan sampah elektronik atau e-waste. Perkembangan penggunaan serta pembuangan peralatan listrik atau elektronik akan meningkat secara signifikan dan mempengaruhi laju timbulan sampah elektronik.
Walaupun sampah ini merupakan isu global, namun istilah tersebut bukan sesuatu yang umum bagi kebanyakan orang di Indonesia (Wilyani et al., 2018). Tidak ada pengertian khusus dari sampah elektronik dalam pengendalian dan pengelolaan limbah di Indonesia, meskipun di negara maju sudah jelas bahwa sampah elektronik akan masuk ke dalam regulasi sebagai limbah berbahaya. Dibandingkan negara berkembang lain di Asia Tenggara, kesadaran akan permasalahan sampah elektronik di Indonesia relatif tertinggal. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan informasi mengenai sampah elektronik kepada masyarakat serta perbedaan pemahaman antar instansi terkait sampah dan tata cara pengelolaan di tingkat pemerintahan. Selain itu, tidak ada data yang akurat mengenai jumlah produk elektronik dan ketentuan teknis lainnya mengenai umur barang yang perlu diolah kembali di Indonesia.
Oleh karena itu, pengetahuan dan informasi mengenai sampah elektronik menjadi sesuatu yang krusial di Indonesia. Tingkat konsumsi produk elektronik di tanah air termasuk tinggi, namun tidak disertai dengan kesadaran akan apa itu sampah elektronik dan bagaimana cara mendaur ulangnya dengan benar. Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama memahami secara lebih dalam apa itu sampah elektronik dan mengapa kita harus mengelolanya dengan baik agar tidak menjadi berbahaya.
BACA JUGA: Soul For Toli Toli Restoring Mangrove Forest
Apa itu Sampah Elektronik?

Sampah elektronik atau electronic waste (e-waste) adalah produk elektronik yang dibuang setelah masa pakainya berakhir (Lava’s Initiatives for E-Waste Management, n.d.). Sampah elektronik meliputi produk elektronik─baik yang berfungsi maupun tidak─yang dibuang ke sampah atau disumbangkan pada pengecer amal (What is E-Waste, n.d.). Produk-produk elektronik yang tidak terjual di sebuah toko juga umumnya akan dibuang dan menjadi sampah elektronik. The European Waste Electrical and Electronic Equipment Directive (WEEE) membedakan sampah elektronik ke dalam sepuluh kategori, yaitu peralatan rumah tangga besar, peralatan rumah tangga kecil, peralatan IT, elektronik konsumen, lampu dan luminer, mainan, peralatan elektronik, perangkat medis, instrumen pemantauan dan kontrol, serta dispenser otomatis. Sampah ini juga termasuk barang elektronik bekas yang akan digunakan kembali, dijual kembali, diselamatkan, didaur ulang, yang berfungsi dan dapat diperbaiki, serta bahan mentah sekunder dari elektronik seperti tembaga, baja, dan plastik. Istilah limbah lebih banyak digunakan untuk residu atau bahan yang dibuang oleh pembeli daripada didaur ulang, termasuk residu dari penggunaan kembali dan operasi daur ulang. Oleh karena itu, kebijakan publik di beberapa negara bahkan menggunakan dua istilah yang berbeda, yaitu e-waste dan e-scrap.
Disisi lain, Partnership on Measuring ICT for Development membedakan sampah elektronik ke dalam enam kategori, yaitu:
- Peralatan elektronik seperti pendingin ruangan atau lemari pendingin (freezer) yang besar.
- Layar dan monitor, seperti TV dan laptop.
- Lampu, seperti lampu LED.
- Peralatan elektronik besar, seperti mesin pencuci pakaian dan kompor elektrik.
- Peralatan elektronik kecil, seperti microwave dan pencukur elektrik.
- Peralatan TI dan elektronik untuk berkomunikasi, seperti ponsel genggam dan mesin cetak.
Sampah elektronik kemungkinan besar mengandung logam mulia seperti emas, tembaga, nikel, serta bahan langka yang memiliki nilai strategis seperti iridium dan palladium (World Economic Forum Reports, 2019). Banyak dari logam ini dapat dipulihkan, didaur ulang, dan digunakan sebagai bahan mentah sekunder untuk barang baru. Tantangannya adalah tingkat kerumitan luar biasa untuk mendaur ulang zat-zat tersebut dari sebuah sampah elektronik karena satu sampah elektronik dapat terdiri dari lebih dari 1.000 zat berbeda. Lima buah sampah elektronik mungkin hanya mewakili 2% dari aliran limbah padat, namun dapat mewakili 70% dari limbah berbahaya yang berakhir di TPA. Hingga 60 elemen dari tabel periodik dapat ditemukan dalam sampah elektronik yang kompleks seperti ponsel genggam. Mayoritas sampah ini bahkan sebenarnya masih dapat digunakan kembali.
BACA JUGA: Kampanye Alam Lets Keep The Earth Clean And Green
Dampak bagi Manusia dan Lingkungan

Saat ini, sampah elektronik (E-waste) dianggap sebagai aliran limbah dengan pertumbuhan tercepat di dunia (Forti et al., 2020). Secara global, pada tahun 2019, ada 53.6 Mt (Metrik ton) sampah elektronik yang dihasilkan dengan rata-rata 7.3 kg per kapita. Produksi sampah ini diperkirakan akan meningkat sebesar 4.7 Mt pada tahun 2030 apabila masyarakat global tidak menangani isu ini dengan lebih serius. Asia merupakan penyumbang terbesar volume sampah elektronik yang signifikan yaitu 24.9 Mt, diikuti oleh Amerika (13.1 Mt), Eropa (12 Mt), Afrika (2.9 Mt), dan Oseania (0.7 Mt).
Dari 53.6 Mt sampah elektronik yang dihasilkan secara global, pengumpulan dan daur ulang yang terdokumentasi secara resmi adalah 9.3%, sedangkan nasib dari 44.3% sisanya masih belum pasti. Sebagian besar sampah elektronik komersial dan domestik yang tidak tercatat akan bercampur dengan aliran limbah lain seperti plastik dan logam, sehingga pecahan yang mudah didaur ulang akan didaur ulang tanpa penyusutan dan pemulihan semua bahan yang dianggap berharga. Akibatnya, bentuk daur ulang tersebut dapat menjadi zat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Kondisi daur ulang yang buruk memiliki efek yang buruk pula terhadap kesehatan, terutama bagi makhluk hidup yang berada di dekat lokasi pengelolaan limbah elektronik.
Sampah ini mengandung komponen beracun yang berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti merkuri, timbal, kadmium, penghambat api polibromin, barium, dan litium (E-Waste & its Negative Effects on the Environment, n.d.). Komponen beracun tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak, jantung, hati, ginjal dan sistem kerangka. Selain itu, mereka juga mempengaruhi sistem saraf dan reproduksi tubuh manusia, sehingga dapat menyebabkan penyakit dan cacat lahir.
BACA JUGA: Indonesia Green Living Festival Menjadi Bangsa Yang Hijau
Di berbagai negara, perempuan dan anak-anak mencapai 30% dari angkatan kerja di pengolahan sampah elektronik informal, sehingga mereka sangat rentan terhadap paparan komponen beracun dari sampah elektronik (World Economic Forum Reports, 2019). Penemuan dari berbagai penelitian menunjukkan ada peningkatan keguguran spontan, kelahiran diam (stillbirth) dan prematur, serta penurunan berat badan lahir dan panjang lahir yang terkait dengan paparan terhadap sampah elektronik. Insiden cacat lahir dan kematian bayi yang tinggi menjadi pemandangan yang familiar di kalangan pekerja perempuan. Senyawa dalam sampah ini juga bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan kanker.
Sampah elektronik dapat mencemari air tanah, tanah, dan udara yang berada di sekitarnya, serta berkontribusi dalam percepatan perubahan iklim. Setiap perangkat yang pernah diproduksi memiliki jejak karbon dan berkontribusi terhadap pemanasan global buatan manusia. Produksi satu ton laptop memiliki potensi untuk menghasilkan 10 ton CO2. Apabila produsen perangkat elektronik mempertimbangkan jumlah karbon dioksida yang dilepaskan selama masa pakai sebuah perangkat, proses dan input karbon akan lebih rendah pada tahap manufaktur dan memiliki dampak positif pada lingkungan secara keseluruhan selama masa pakainya.
BACA JUGA: Lets Do Somethinc Good
Langkah untuk Mengurangi Sampah Elektronik

Pembuangan sampah elektronik yang tidak tepat sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan global, oleh karena itu sangat penting untuk menyebarkan kesadaran tentang masalah yang berkembang ini beserta akibatnya. Untuk menghindari efek dari racun sampah ini, sangat penting untuk memiliki siklus pengolahan sampah elektronik yang benar, sehingga barang dapat didaur ulang, diperbarui, dijual kembali, atau digunakan kembali. Arus sampah elektronik yang terus bertumbuh hanya akan memburuk bila masyarakat tidak memperoleh pengetahuan serta informasi tentang cara pembuangan yang benar dan pemerintah tidak memiliki kerangka hukum yang jelas mengenai pengelolaannya.
Saat ini, masih belum ada definisi khusus dan akurat mengenai apa itu sampah elektronik atau e-waste di Indonesia (Wilyani et al., 2018). Untuk mengatur sampah ini, pemerintah telah mengkategorikan sampah elektronik menjadi sampah berbahaya dan beracun. Oleh karena itu, pengaturan dan pengelolaan sampah elektronik mengacu pada peraturan yang mengatur tentang Limbah B3 dan Limbah yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, Keputusan Presiden No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, peraturan-peraturan tersebut hanya mengatur secara umum dan tidak memiliki rincian terkait definisi, kriteria maupun alur pengelolaan sampah elektronik.
BACA JUGA: Merawat Bumi Bersama Bumi Bulk-Store And Refillery Brand
Lemahnya kerangka hukum ini akhirnya berdampak pada terjadinya pelanggaran secara berulang yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat karena tidak dilakukan melalui cara-cara yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan upaya lebih untuk dapat mengurangi jumlah sampah elektronik yang diproduksi setiap tahunnya. Upaya-upaya tersebut antara lain (How to Reduce Electronic Waste, 2018):
- Menjual atau mendonorkan produk atau perangkat elektronik yang memang sudah tidak ingin dipakai. Hal ini akan membantu kita mengurangi jejak elektronik (electronic footprint) dan kemungkinan produk atau perangkat elektronik kita diolah secara tidak tepat.
- Buang dan daur ulang sampah elektronik dengan benar. Di beberapa negara, merek besar seperti Apple dan Samsung mulai memberikan opsi kepada pelanggannya untuk mendaur ulang barang elektronik lama. Terkadang, pelanggan bisa memperoleh kompensasi finansial apabila mendaur ulang perangkat lama. Mendaur ulang elektronik juga membantu karena komponen elektronik mahal di dalamnya digunakan kembali. Ini dapat menghemat banyak energi dan mengurangi kebutuhan penambangan sumber daya mentah baru, atau pembuatan suku cadang baru.
- Menjaga produk atau perangkat elektronik kita dengan baik. Apabila kita merawatnya dengan baik, maka kita tidak akan perlu membeli yang baru secara terus-menerus. Hal ini tentu saja akan mengurangi jumlah sampah elektronik yang kita produksi.
- Mengevaluasi kembali kebutuhan kita sebelum membeli produk atau perangkat elektronik baru. Apabila kita memang tidak membutuhkan produk atau perangkat baru, maka tetap gunakan yang lama sampai kita memang benar-benar membutuhkan yang baru. Keputusan ini tidak hanya bijaksana bagi manusia dan lingkungan, tapi juga keuangan pribadimu.
Penulis: Fiona Evangeline Onggodjojo
Dikurasi oleh Inggrit Aulia Wati Hasanah
Lindungihutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya yang dapat merugikan pihak.
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!