
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah sebuah taman nasional yang terletak di Sulawesi Selatan, tepatnya berada di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Sekitar 50 km di arah utara Kota Makassar, yang dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari Kota Makassar. Taman nasional ini memiliki luas kurang lebih 43.750 hektar, yang membentang dari Kabupaten Maros hingga Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (yang selanjutnya disingkat “Pangkep”). Terdapat dua ikon utama yang ada di taman nasional ini, yaitu kupu-kupu dan keindahan alamnya yang berupa pegunungan karst, bebatuan, dan berbagai gua prasejarah. Selain sebagai tempat wisata alam, taman nasional ini juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat wisata prasejarah.
Sejarah Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung
Eksplorasi di kawasan Bantimurung untuk pertama kalinya dilakukan oleh Alfred Russel Wallace pada Juli hingga Oktober 1857. Selanjutnya, ia mempublikasikan hasil penjelajahannya di The Malay Archipelago, yang kemudian mendorong banyak peneliti untuk mengunjungi dan melakukan penelitian wilayah Maros karena keunikan fauna dan keindahan alamnya. Pada ekspedisi pertama ini juga, Alfred Russel Wallace menjuluki kawasan Bantimurung sebagai “The Kingdom of Butterfly” karena di dalam kawasan tersebut banyak ditemukan kupu-kupu yang cantik dan mempesona.

Pada tahun 1970 hingga 1980, terpilihlah lima kawasan konservasi di kawasan Maros hingga Pangkep, yaitu dua taman alam yang meliputi Bantimurung dan Gua Pattunuang, serta tiga suaka margasatwa yang meliputi Bantimurung, Karaenta, dan Bulusaraung. Pada tahun 1993, The XI International Union of Speleology Congress merekomendasikan wilayah Maros-Pangkep sebagai situs warisan dunia. Lima tahun setelah itu, Seminar Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin (PSL-UNHAS) juga merekomendasikan kawasan Maros-Pangkep sebagai kawasan yang dilindungi. Pada Mei 2001, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Asia Regional Office dan UNESCO World Heritage Center mengadakan sebuah konferensi yang bertajuk Asia-Pacific Forum on Karst Ecosystems and World Heritage di Sarawak, Malaysia, untuk meyakinkan pemerintah Republik Indonesia untuk melestarikan kawasan Maros-Pangkep sebagai wilayah yang dilindungi.
Akhirnya, pada 18 Oktober 2004, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kehutanan mendeklarasikan alokasi 43.750 hektar lahan Bantimurung-Bulusaraung untuk konservasi satwa liar, taman alam, hutan konservasi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap sebagai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung melalui SK.398/Menhut-II/2004. Dari 43.750 hektar total luas lahan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, di dalamnya meliputi cagar alam seluas kurang lebih 10.282 hektar, taman wisata alam seluas 1.624 hektar, hutan lindung seluas 21.343 hektar, hutan produksi terbatas seluas 145 hektar, dan hutan produksi tetap seluas 10.355 hektar.

Keunikan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung
Terletak di kawasan peralihan zona Asia dan Australia, taman nasional ini memiliki banyak koleksi satwa unik, seperti kera tegalan Sulawesi (Macaca maura), burung enggang kenop merah (Aceros cassidix dan Penelopes exarhatus), kuskus (Strigocuscus celebensis), musang palem Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii), kelelawar, dan babi berperut buncit (Sus Scrofa vittatus). Pada Maret 2008, petugas Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung mendokumentasikan keberadaan Tarsius fuscus dan mereka juga menemukan sarangnya di dalam kawasan tersebut. Selain itu, di kawasan karst Taman Nasional ini, terdapat satu spesies unik yang hanya dapat ditemukan di Gua Karst Maros, yaitu kepiting laba-laba (Cancrocaeca xenomorpha).

Kupu-kupu menjadi salah satu ikon utama di taman nasional ini. Di taman nasional ini, sedikitnya terdapat 20 jenis kupu-kupu yang dilindungi oleh pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 7/1999. Beberapa spesies kupu-kupu tersebut bahkan ada yang hanya dapat ditemukan di Sulawesi Selatan, seperti Troides Helena Linne, Troides Hypolitus Cramer, Troides Haliphron Boisduval, Papilo Adamantius, dan Cethosia Myrana. Menurut Alfred Russel Wallace dalam penelitiannya yang dipublikasikan di The Malay Archipelago, di lokasi tersebut terdapat sedikitnya 250 spesies kupu-kupu. Hingga akhir tahun 2016, sebanyak kurang lebih 240 jenis kupu-kupu ekor layang-layang (Papilionidae) telah teridentifikasi terdapat di taman nasional ini.
Baca juga: Hewan Zebra, Si Belang Hitam-Putih Afrika
Selain kupu-kupu, sekitar separuh dari luas kawasan taman nasional ini terdapat kawasan karst seluas kurang lebih 22.850 hektar. Kawasan karst yang terdapat di taman nasional ini juga merupakan keunikan tersendiri, yang mampu membedakan antara Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dengan taman-taman nasional lainnya yang terdapat di Indonesia. Hingga tahun 2016, terdapat 257 gua di taman nasional ini, dengan rincian 216 gua merupakan gua alam dan 41 gua merupakan gua prasejarah.

Pengelolaan Taman Nasional
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi atau taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 pada tanggal 18 Oktober 2004. Taman nasional ini kaya akan potensi sumber daya alam, baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Selain itu, taman ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan taman-taman nasional lainnya, yaitu terdapat bukit-bukit karst yang di dalamnya ditemukan gua-gua prasejarah selain keberadaan hutan yang mendominasi kawasan tersebut.
Dalam mengelola kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) beserta Dinas Pariwisata Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk ikut serta dalam melestarikan taman nasional ini. Karena adanya taman nasional ini, masyarakat setempat pun turut merasakan dampaknya, utamanya dapat menambah sumber penghasilan karena terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Di samping itu, masyarakat setempat juga diberikan edukasi dan pengarahan oleh pemerintah agar dapat menjaga kelestarian satwa-satwa dan hutan yang ada di kawasan taman nasional ini.
Penulis: Dhesta Alfianti
Dikurasi oleh: Citra Isswandari Putri
Referensi Literatur
Arfan, Amal, dkk. (2018). “Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dalam Perspektif Etnoekologi (Studi Kasus Kelurahan Kalabbirang)”. Jurnal Sainsmat ISSN 2086-6755, Vol. VII, No. 1, Maret 2018, 25-33. Makassar: Universitas Negeri Makassar. https://ojs.unm.ac.id/sainsmat/article/viewFile/6473/4311
Heropolo. “Bantimurung Bulusaraung National Park”. Diakses melalui https://www.indonesianforest.or.id/bantimurung-bulusaraung-national-park/ pada 8 Februari 2021.
Ngatimin, Sri Nur Aminah, dkk. (2019). “Keanekaragaman Hayati Kupu-kupu Berbasis Pelestarian Lingkungan di Taman NasionalB
antimurung-Bulusaraung”. Bioma: Jurnal Biologi Makassar Vol. 4, No. 2, 2019. Makassar: Universitas Hasanuddin. https://journal.unhas.ac.id/index.php/bioma/article/view/6915
Rimbakita. “Taman NasionalBantimurung-Bulusaraung, Flora Fauna dan Wisata Alam”. Diakses melalui artikel https://rimbakita.com/taman-nasional-bantimurung-bulusaraung/ pada 8 Februari 2021.
Siburian, Robert. (2010). “Pengelolaan Taman NasionalBantimurung-Bulusaraung dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Lokal”. Jurnal Masyarakat dan Budaya ISSN 1410-4830, Vol. 12, No. 1, 2010. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI). https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/166/146
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk mendukung kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di Semarang. Mari bersama melestarikan dan menjaga pesisir Indonesia dari bahaya abrasi yang dapat merugikan banyak pihak!
Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!