Seiring dengan berkembangnya populasi umat manusia, jumlah konsumsi yang mereka butuhkan juga terus meningkat. Peningkatan angka dari dua hal ini juga berbanding lurus dengan upaya manusia untuk meningkatkan produksi. Hal ini yang mendorong suatu proses yang disebut dengan industrialisasi. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa industrialisasi memiliki dampak negatif yang harus diatasi. Dampak tersebut berkaitan dengan semakin menipisnya kawasan hutan akibat pembukaan lahan secara berlebihan. Akibatnya, fenomena deforestasi atau penggundulan hutan di seluruh dunia semakin parah.
Dari tahun 2002-2006 saja, rerata deforestasi per tahun mencapai 2,9 juta ha. Kawasan hutan yang semakin menipis sudah seharusnya menjadi sorotan dalam lingkup global. Hal itu disebabkan deforestasi membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia dengan membawa berbagai bencana alam, mulai dari longsor, banjir, kekeringan, hingga wabah penyakit. Oleh karena itu, beberapa pihak baik pemerintah maupun non-pemerintah terus mengupayakan solusi atas deforestasi yang terjadi. Salah satu upaya dalam menemukan solusi tersebut dituangkan dalam gagasan The Great Green Wall yang dicetuskan pertama kali oleh Uni Afrika atau African Union (AU).

Definisi dan Tujuan
The Great Green Wall atau Tembok Hijau Besar di Sahara dan Sahel adalah inisiatif utama Afrika untuk memerangi peningkatan deforestasi. Dipimpin oleh Uni Afrika, inisiatif ini bertujuan untuk mengubah kehidupan jutaan orang dengan menciptakan mosaik lanskap hijau dan produktif di seluruh Afrika Utara. Gagasan awal dari wacana ini adalah membuat sebuah barisan pepohonan dari timur ke barat di perbatasan Gurun Sahara.
Meskipun demikian, visi The Great Green Wall telah berkembang menjadi pembentukan mosaik hijau untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat di Sahel dan Sahara. Sebagai instrumen pembangunan pedesaan, tujuan besar dari program kerja sama ini adalah untuk memperkuat ketahanan regional dan sistem alami melalui pengelolaan ekosistem yang baik, perlindungan kebudayaan asli, dan mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Proyek ini digambarkan sebagai respon atas berbagai dampak dari degradasi sumber daya alam dan kekeringan di daerah pedesaan.
Program ini mendukung masyarakat untuk bekerja menuju pengelolaan dan pemanfaatan hutan, padang rumput, dan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan. Di saat yang bersaman, program ini juga berusaha membantu masyarakat memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim, serta meningkatkan ketahanan pangan. Populasi Sahel juga diekspektasikan meningkat dua kali lipat pada tahun 2039, hal tersebut menambah urgensi penjalanan program ini.
Sejarah
Pada 1950-an, penjelajah Inggris Richard St. Barbe Baker melakukan ekspedisi di Sahara. Selama ekspedisi St. Barbe sepanjang 40.000 kilometer (25.000 mil), ia mengusulkan “Green front” yaitu sebuah tembok pepohonan untuk menahan penggurunan yang semakin meluas. Ide tersebut muncul kembali pada tahun 2002, pada KTT khusus di N’Djamena, ibu kota Chad pada saat Hari Dunia untuk Memerangi Penggurunan dan Kekeringan. Uni Afrika kemudian mengesahkan ide tersebut pada tahun 2007 sebagai ‘Great Green Wall for the Shaara and the Sahel initiative’ (GGWSSI).
Berawal dari inisiatif penanaman pohon, proyek ini berkembang menjadi salah satu instrumen dalam program pembangunan berkelanjutan. Pada tahun 2007, proyek ini diarahkan untuk mengatasi dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari degradasi lahan dan penggurunan. Strategi regional yang selaras dengan program tersebut diadopsi pada September 2012 oleh Konferensi Tingkat Menteri Afrika tentang Lingkungan (AMCEN). Pada tahun 2014, Uni Eropa dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, bekerja sama dengan Afrika dan mitra regional lainnya, meluncurkan program Action Against Desertification untuk mengembangkan GGWSSI. Hal ini kemudian mendorong program The Great Green Wall menjadi inspirasi dalam lingkup global untuk memerangi deforestasi.
Prinsip, Implementasi, dan Proses
Implementasi dari proyek ini mencakup Jalur Sahara, perbatasan utara dan selatan, termasuk oasis dan daerah kantong Sahara, salah satunya adalah Cape Verde. Strategi regional ini menekankan kemitraan antara pemangku kepentingan, menerapkan integrasi ke dalam program yang ada, meningkatkan partisipasi lokal dan mengembangkan perencanaan yang lebih terintegrasi secara global. Proyek senilai $8 miliar ini memiliki prinsip tujuan untuk memulihkan 100 juta hektar lahan terdegradasi pada tahun 2030, yang akan menciptakan 350.000 pekerjaan pedesaan dan menyerap 250 juta ton CO2 dari atmosfer.

Sejak 2014, mesin pencari ramah lingkungan bernama Ecosia telah bermitra dengan penduduk lokal di Burkina Faso. Ecosia menyebarkan kampanyenya ke Ethiopia pada 2017 dan ke Senegal pada tahun berikutnya. Menurut Ecosia, mereka telah menanam lebih dari 16.940.947 pohon atau seluas 12.384 hektar di Burkina Faso, dan menanam lebih dari 3.963.273 pohon atau seluas 1.600 hektar di Ethiopia per 2 Juli 2020. Pada September 2017, BBC melaporkan bahwa kemajuan terbaik terjadi di Senegal. Pada Maret 2019, 15 persen tembok hijau selesai dengan hasil yang signifikan di Nigeria, Senegal, dan Ethiopia.
Penulis: Vigo Marcellino Krisnaya
Dikurasi Oleh: Daning Krisdianti
Referensi literatur:
https://www.greatgreenwall.org/about-great-green-wall
Puiu, Tibi. (2019-04-03). More than 20 African countries are planting a 8,027-km-long ‘Great Green Wall’: https://www.zmescience.com/ecology/climate/great-green-wall-04232/. Diakses pada 28 April 2021.
Referensi gambar:
Gambar 1: https://www.greatgreenwall.org/about-great-green-wall
Gambar 2: http://www.fao.org/news/story/en/item/1295529/icode/
LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Kunjungi situs berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam untuk melakukan kegiatan dan aksi penghijauan teman-teman di berbagai daerah. Mari kita sama-sama melestarikan lingkungan dan menjaganya.
Yuk bergabung bersama kami sebagai pioneer penghijauan!